Tuesday, June 02, 2009

Perempuan Korban Budaya

Aku perempuan yang lahir di desa dekat laut di daerah jawa tengah. Waktu aku muda aku sempat menjadi kembang desa, dan banyak laki-laki yang memperebutkan aku. Kata orang-orang aku cantik, meski aku tidak pernah merasa secantik klaim orang-orang disekitarku.

Orang tuaku sebenarnya lumayan berada, tapi sayang emak dan bapakku suka bertengkar dan sering putus nyambung. Terutama emakku yang suka gonta-ganti pasangan meskipun beliau telah memiliki suami yaitu bapakku. Aku bersyukur pada Tuhan, karena di tengah keluarga yang amburadul, aku masih bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar, meski cuma sampai kelas lima saja. Sebenarnya aku masih pengen sampai lulus kelas enam, tapi emakku sudah tidak lagi peduli dengan aku.

Umur sembilan tahun aku dinikahkan oleh nalar otoriter emakku, bahkan ketika itu aku belum paham apa itu pernikahan. Malam hari setelah akad nikah, kala aku masuk kamar, aku bahkan tidak berfikir bahwa menikah itu sama dengan harus tidur dengan laki-laki yang kata emak adalah suamiku. Malam itu aku sangat ketakutan ketika suami baruku memasuki kamarku, saking takutnya aku lari menghampiri kamar emak dan bapakku. Aku menangis sejadi-jadinya dan memohon agar bisa tidur dengan emak serta bapak. Keesokan harinya emak dan bapakku mengurus perceraianku dengan suami sebentarku tersebut, alhamdulillah aku masih perawan, meski kala itu aku sungguh tidak tahu pentingnya keperawanan.

Pada usia ke lima belas, aku kembali menikah dengan laki-laki pilihan emak dan bapakku. Oya, kala itu kalau tidak salah ingat, emak dan bapakku sudah pisah, dan emakku seperti biasa telah melanglangbuana dengan beberapa laki-laki muda. Emakku memang sangat doyan dan rakus dengan laki-laki yang usianya lebih muda dari dirinya. Emakku tidak pernah kapok, padahal dengan memacari laki-laki muda, harta benda emakku sampai ludes hampir tak tersisa untukku sebagai anak kandungnya.

Pada pernikahanku yang kedua, aku dikaruniai tiga orang anak, dan pada pernikahanku yang kedua pun aku tetap mempunyai masalah. Suamiku doyan bermain mata dengan perempuan-perempuan lain, bahkan aku sempat diceraikan karena suamiku ingin menikahi perempuan lain yang lebih cantik dari aku, padahal saat itu aku tengah hamil anakku yang ketiga.

Keberuntungan masih berpihak padaku, selang beberapa waktu kemudian saat kelahiran anakku yang ketiga, suamiku menceraikan istri barunya dan kembali padaku. Sebenarnya aku sakit hati dan ingin tidak memaafkannya, tetapi aku diajari oleh masyarakat bahwa perempuan harus menjadi pemaaf. Akhirnya saking tidak tahunya musti bagaimana lagi, aku pun memaafkan suamiku dengan dalih demi anak-anakku tercinta.

Belum lama aku bersatu dengan suamiku, tiba-tiba ada kejadian yang mengagetkanku sekaligus membuatku hampir shock karena tidak siap menghadapinya. Suatu malam, tiba-tiba ada aparat pemerintah yang datang berombongan dan menghampiri rumahku, bahkan mereka bermaksud membakar rumahku. Mengingat anakku yang masih kecil-kecil, aku nekat memprotes para aparat agar tidak membakar rumahku. Akhirnya rumahku cuma di obrak-abrik dan tidak jadi di bakar, tetapi seiring dengan itu, aku kehilangan suamiku. Rombongan aparat tersebut membawa serta suamiku pergi bersamanya, atas tuduhan sebagai anggota aktif pki. Sepanjang jalan menuju mobil yang kurang lebih lima puluh meter dari rumahku, aku melihat suamiku dipukuli oleh para aparat tersebut.

Pasca itu, suamiku di penjara di daerah pekalongan kemudian dipindahkan ke pemalang, dan kemudian lagi dikembalikan ke pekalongan. Sebagai perempuan yang kata orang-orang harus taat pada suami, tiap minggu aku bolak-balik dari rumah ke pekalongan juga pemalang. Sering aku tidak punya uang, sehingga aku berpura-pura sebagai pedagang kereta yang otomatis tidak diwajibkan membeli tiket. Aku melakukannya dengan riang hati dan gembira, bahkan meski ingin mengeluh aku coba untuk menahan dongkol keluhan hatiku.

Disisi lain hidupku ketika suamiku berada di penjara, ada laki-laki yang mengejar-ngejar aku dan bermaksud menjadikanku sebagai istri. Aku sebenarnya ingin menolak, tapi sekali lagi aku tidak bisa hanya karena aku seorang perempuan. Akhirnya aku menikah untuk yang ketiga kalinya, dan ketika itu suamiku yang kedua telah keluar dari penjara dan meninggal karena sakit. Suamiku yang ketiga sangat sayang kepadaku, bahkan saking sayangnya dia hampir membunuh laki-laki yang juga hampir melamarku. Tapi sayang, kasih sayangnya tak bernilai karena ternyata aku adalah istri keduanya.

Aku kaget dan tidak percaya, bahkan otak logisku tidak menerima secara kompak lantaran aku dijadikan sebagai istri kedua. Tapi mau apa lagi, toh keluargaku dan masyarakat disekitarku tidak ada yang protes dengan praktek poligami tersebut. Lagi-lagi aku dipaksa sadar bahwa jenis kelaminku adalah perempuan.

Suamiku yang ketiga sangat sayang dan mencintaiku dengan sepenuh hatinya, bahkan dia hampir melupakan istri pertamanya. Aku agak bangga karena lebih dicintai suamiku dari pada istri pertamanya, tapi justru kebanggaanku itu membelenggu kebebasanku. Istri pertama suamiku sangat membenciku dan dia bermaksud membunuhku, aku dianggapnya sebagai perempuan tidak tahu diri yang bisanya hanya merebut suami orang. Hampir tiap saat dia menerorku, mendatangi dan memakiku dengan keji, meninjuku, menamparku, dan memfitnahku.

Sebagai perempuan yang tidak terlalu jelek, bahkan kata orang-orang aku cantik, aku sebenarnya tidak terima diperlakukan tidak manusiawi oleh istri pertama suamiku. Tetapi kali ini justru suamiku yang menyadarkanku, bahwa aku adalah perempuan dan perempuan itu harus siap dijadikan istri kedua, karena kata dia jika aku ikhlas menjalaninya maka tuhan akan memberikan syurga untukku.

Anak-anakku telah dewasa dan telah mapan dengan keluarga barunya, kala itu usiaku sudah menginjak lima puluh delapanan. Aku memutuskan berpisah dari suamiku dengan tidak baik-baik, alasannya aku kecewa dengan dia karena anak kandungku ditipu oleh anak kandungnya dengan istri pertamanya. Suamiku yang sudah tidak hidup bersamaku selama hampir tiga tahun, akhirnya sakit parah dan tergolek di ranjang rumah sakit daerah. Dia memohon maaf kepadaku dan mendoakan aku agar selalu panjang umur, sehingga aku bisa melihat cucu-cucu dan canggah-canggahku lahir ke dunia ini. Akhirnya aku memaafkannya karena alasan aku seorang perempuan, karena kata emak dan bapak perempuan harus selalu sabar, pemaaf, baik hati, nurut, nrimo, sopan, lembut, dan patuh pada suaminya. Meski hati kecilku berbicara, bahwa sesunggunya jika perempuan berani maka perempuan akan mampu menjadi dirinya sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog