Wednesday, September 28, 2011

KTP,,,,

KTP saya hilang karena kecopetan bersama dompet saya.

Bukan cuma KTP yang hilang, SIM, NPWP, Askes, ATM, KTM, Kartu Berobat, dan uang.

Otomatis karena telah lenyap semua saya harus mengurus satu-satu.

Tidak tahu kenapa, saya males banget mau ngurusi semuanya.

Kayaknya ogah-ogahan gitu.

Hahaha.

Akhirnya setelah sebulan lamanya saya mencoba mengurusi KTP.

Kemudian saya meminta surat pindah dari alamat lama.

Alhamdulillah dapat surat pindah dari RT.

Tetapi tentu tidak gratis.

Saya harus membayar 15.000 untuk surat tersebut.

Setelah ke Kelurahan dimana saya tinggal sekarang, saya dapat pengantar.

Dan ternyata pengantar tersebut juga tidak gratis alias bayar.

Kali ini saya mengeluarkan uang 20.000.

Saya masih harus minta keterangan ke Kelurahan tempat saya tinggal sebelumnya.

Dapatlah surat keterangan pindah yang legalitasnya lebih tinggi dari RT.

Ternyata lagi-lagi saya harus membayar 20.000 untuk surat tersebut.

Terakhir saya musti ke Kecamatan untuk menyerahkan semua berkas.

Dan karena belum jadi, saya belum tahu berapa uang yang harus saya keluaran untuk membayar.

Yang menjadi pertanyaan saya adalah?

Bukankah para pegawai tersebut sudah mendapat gaji?

Jika iya, seharusnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat idealnya cuma-cuma.

Dan tidak boleh dipungut biaya.

Bagaimana negara ini mau bersih dari KKN, kalau aparatnya saja melegalkan uang diluar gaji resminya.

Bukan tidak ikhlas mengeluarkan sejumlah uang.

Yang saya heran dengan diri saya sendiri.

Kenapa saya tidak berani untuk tegas.

Sehingga yang seharusnya dibayar yaitu di Kecamatan.

Hanya di Kecamatan.

Emang sih mereka enggak minta secara terang-terangan.

Begini ne percakapannya.

Saya: kena biaya administrasi berapa ya pak?

Bapaknya: yaudah saya terima berapapun dari ibu.

Saya: lha kok gitu?

Bapaknya: iya bu saya terima saja.

Padahal saya berharap dia bilang gini:

"Lho tidak usah membayar ibu, ini kan sudah tugas saya sebagai pegawai kelurahan,

malah kalau ibu membayar sama saja ibu meremehkan saya, ini namanya suap ibu, ibu tau suap kan?"

Tapi sayang, kalimat itu hanya hayalan semata.

Semoga suatu saat akan menjadi nyata.

Amien.

Continue Reading...

Tawuran Pelajar,,,

Kejadian kisruh antara wartawan dan pelajar SMAN 6 Jakarta bermula dari aktivitas wartawan Oktaviardo yang mengambil gambar sekelompok pelajar yang sedang berkumpul. Meski sudah dilarang oleh pelajar, Oktaviardo tetap mengambil gambar mereka. Hal itu membuat para pelajar marah dan mengambil paksa kaset video milik Oktaviardo. Senin (19/9), beberapa wartawan mengadakan aksi solidaritas di depan SMAN 6 Jakarta. Pada waktu itu, Kapolsek Kebayoran Baru Kompol Hando memfasilitasi pertemuan antara wartawan dengan Kepala Sekolah SMAN 6 Jakarta. Sayangnya pasca mediasi, wartawan masih bertahan di depan SMAN 6 Jakarta. Padahal seusai pertemuan antara pihak sekolah dan wartawan yang melakukan aksi damai saat itu, petugas sudah menghimbau kepada wartawan untuk segera meninggalkan area SMAN 6 di kawasan Blok M. Akibatnya pelajar dan wartawan terlibat adu jotos dengan menggunakan tangan kosong sehingga mengakibatkan korban luka ringan dan berat dari keduanya.

Tawuran pelajar adalah aktivitas fisik/berantem antara dua sekolah yang bermusuhan secara turun temurun dan dilakukan dengan kesadaran. Tawuran pelajar biasanya dipicu oleh persoalan-persoalan seperti: dendam di masa lalu yang di langgengkan oleh senior, persoalan perempuan, persoalan ledek-meledek, persoalan coret-mencoret identitas sekolah di tembok, atau persoalan setia kawan karena teman satu sekolahnya ada yang terluka/meninggal oleh sekolah lain.

Faktor-faktor yang menyebabkan pelajar melakukan tawuran diantaranya: kurangnya perhatian dari orang tua, kurangnya perhatian dari guru/wali kelas, pengaruh lingkungan teman sebaya, desakan dari senioritas, keakuan yang tinggi (ingin dianggap sebagai jagoan), dan membela nama baik almamater/sekolah.

Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengamati perkembangan perilaku anaknya. Atau sering juga karena orang tua terlalu percaya dengan anaknya, sehingga orang tua merasa tidak perlu mengontrol anaknya terlalu ketat. Seharusnya orang tua lebih serius lagi mendampingi anak-anaknya yang tengah menginjak usia remaja, karena sejatinya pelajar pelaku tawuran meskipun dia jagoan sekalipun di sekolahnya, dia tetap taat dan takut kepada kedua orang tuanya.

Guru-guru/wali kelas di sekolah juga seharusnya memantau anak didiknya setelah pulang sekolah, benarkah anak didiknya tersebut langsung pulang sekolah? Atau jangan-jangan anak didiknya tidak langsung pulang dan nongkrong bersama teman-teman sebayanya. Meskipun tidak ada niat untuk melakukan tawuran, ketika pelajar nongkrong dengan teman sebayanya dalam jumlah yang lumayan banyak, dapat dipastikan ada salah satu anak yang iseng dan mengusulkan kepada teman sebayanya agar mencari musuh, dari situlah tawuran bisa dilangsungkan.

Tawuran menurut saya bukan persoalan sepele, tawuran adalah persoalan penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak termasuk pemerintah. Semua pihak harus sadar dan membuka mata lebar-lebar bahwa pelajar yang tawuran adalah generasi muda penerus bangsa yang seharusnya dibina dan disiapkan untuk menggantikan generasi tua. Bagaimana bangsa ini bisa maju, jika kelak para pejabatnya dipimpin oleh generasi yang ketika mudanya gemar melakukan tawuran/kekerasan? Sayangnya tidak banyak pihak yang peduli dengan fenomena tawuran pelajar baik di ibu kota ataupun di daerah-daerah. Tidak banyak yang punya waktu khusus untuk mendampingi/mengadvokasi para pelajar yang gemar melakukan tawuran.

Perlu diketahui oleh masyarakat umum, bahwa anak-anak tawuran tidak hanya melakukan aktivitas tawuran, sebagian dari mereka terlibat dalam aktivitas negatif lainnya seperti: free seks, narkoba/ganja, merokok, minuman keras, dan judi. Semua pasti sepakat secara bulat bahwa aktivitas negatif tersebut bisa mengakibatkan hancur dan rusaknya generasi muda Indonesia. Usia para pelajar yang terlibat tawuran berkisar antara usia anak SMP dan SMA, pada usia tersebut anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan dan pencarian jati diri, sehingga sangat perlu untuk didampingi, agar apa yang dipilihnya bukan sebuah kesalahan tetapi sebuah kebaikan yang akan menjadikannya generasi unggulan dan cerdas.

Saya sepakat dengan sebuah komentar di internet yang mengatakan: “Malu melihat pelajar berakhlak seperti ini. Kalau saja pendidikan etika menjadi yang utama maka pemandangan mengerikan seperti ini tidak akan pernah ada. Orang yang lebih muda seharusnya hormat kepada yang lebih tua, dan yang lebih tua membimbing yang lebih muda, hanya tinggal ajaran di atas kertas. Inilah mungkin akibat pendidikan kita yang tidak berbasis karakter, yang mengejar kemajuan sains dan teknologi belaka. Sudah saatnya bapak guru/ibu guru kembali ke depan tampil untuk menjadi teladan yang baik. Rindu rasanya dunia sekolah seperti zaman dulu, dimana guru selalu ditiru karena memang perlu dan layak untuk ditiru.”

Pendidikan saat ini memang sudah banyak berbeda dengan pendidikan pada zaman dulu, dulu guru adalah sosok yang benar-benar dihormati dan dikagumi oleh murid-muridnya. Bahkan guru benar-benar dijadikan sebagai orang tua kedua setelah orang tua kandung. Murid-murid zaman dulu tidak berani melawan guru dan belajar di kelas dengan serius dan sungguh-sungguh. Berbeda dengan murid-murid pada zaman sekarang yang cenderung sangat dekat dengan gurunya, meskipun kedekatan tersebut sering disalah artikan oleh sang murid. Murid-murid tersebut beranggapan bahwa kedekatan antara dirinya dengan guru berarti keterbukaan tanpa batas etika.

Zaman dulu murid adalah objek pendidikan, sehingga seolah-olah wajar ketika ada guru yang bertindak keras terhadap murid-muridnya. Bahkan zaman dulu, orang tua murid tidak akan marah mendengar anaknya dikerasin oleh gurunya, karena orang tua pada zaman dulu sangat percaya kepada guru. Saat ini murid dan guru sama-sama sebagai subjek pendidikan, itu artinya bahwa guru dan murid sama-sama mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Guru mempunyai hak mengajar dengan caranya, dan murid mempunyai hak untuk memberi saran kepada guru tentang metode mengajar yang lebih menarik dan mudah diserap oleh murid.

Kembali ke persoalan tawuran pelajar, pernahkah orang tua dan guru menanyakan secara serius kepada anak-anaknya yang tawuran, mengapa mereka melakukan tawuran pelajar? Atau yang paling dini, pernahkah orang tua dan guru menyadari bahwa anak-anaknya sebagai pelaku tawuran pelajar? Tawuran pelajar menurut pelaku adalah aktivitas yang menantang dan melatih olah fisik/olah raga, yang jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang susah diberantas kecuali dengan cara-cara yang tepat dan bijak. Apalagi jika ada intervensi dari senior dan teman-teman sebayanya, pelajar yang sejatinya tidak menginginkan untuk tawuran menjadi ikut serta karena alasan tidak enak hati dengan senior dan teman sebayanya. Jangan salahkan mereka yang tiba-tiba taat dan patuh dengan seniornya melebihi kepatuhannya terhadap orang tua dan guru, mereka melakukan itu karena memiliki ikatan yang kuat dengan senior-senior dan teman-teman sebayanya. Disini ada satu kritik yang tajam kepada orang tua dan guru, sudahkan orang tua dan guru menjadi sosok yang keberadaanya dianggap oleh anak-anaknya? Sehingga anak tersebut akan lebih patuh dan taat kepada orang tua dan guru ketimbang kepada senior dan teman sebayanya.

Yang paling menyedihkan dan patut untuk di evaluasi bersama-sama yaitu bahwa tawuran pelajar dapat mengakibatkan: korban luka ringan, korban luka serius, kecacatan, kerusakan fasilitas umum, mengganggu aktivitas jalan raya, menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, dan dapat mengakibatkan nyawa melayang. Tidak sedikit pelajar yang meninggal dunia secara mengenaskan akibat tawuran pelajar, coba bayangkan bagaimana perasaan orang tua/keluarga korban setelah tahu bahwa anaknya meninggal secara mengenaskan akibat tawuran pelajar? Dan perlu diketahui bahwa jatuhnya korban meninggal bukan berarti menghentikan tawuran, justru seringkali memicu dendam membara oleh teman-teman korban meninggal, sehingga tidak jarang muncul statement bahwa nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Terlepas dari semua kekurangan yang ada pada komunitas tawuran pelajar, ada satu kelebihan yang dimiliki oleh anak-anak dalam komunitas tawuran pelajar yaitu persahabatan. Sebagian korban meninggal dalam tawuran pelajar dikarenakan membela teman sebayanya yang sedang dikeroyok oleh lawannya. Dan anak-anak dalam komunitas tawuran pelajar rela berkorban apa saja untuk teman sebayanya. Persahabatan mereka sangat tinggi, persahabatan mereka sudah menjadi komunitas keluarga besar, dan persahabatan mereka tidak terbeli oleh apapun juga. Menurut saya itu adalah nilai yang sangat substansial, nilai yang bisa dijadikan sebagai modal dasar untuk menerapi teman-teman kita yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam tawuran pelajar.

Sebagai pengajar dan sebagai orang yang berteman lama dengan anak-anak komunitas tawuran, saya orang pertama yang paling sakit hati dan tidak terima ketika masyarakat hanya mampu menyalahkan anak-anak tawuran, bahkan tidak jarang yang mengklaim anak-anak tawuran sebagai anak-anak bodoh dan anak-anak yang tidak bermoral. Tanpa mencoba menanyakan atau minimal mengerti mengapa mereka melakukan tawuran? Tanyakan pada hati kita masing-masing, sudahkah kita memberi konstribusi positif untuk menyelesaikan persoalan tawuran pelajar. Masih banyak komunitas lain yang semestinya layak dimintai pertanggungjawaban atas maraknya tawuran pelajar terutama di ibu kota Jakarta seperti: aparat penegak hukum, kurangnya perhatian dari orang tua, kurangnya pemantauan dari guru, dan partisipasi dari masyarakat. Semoga.

Continue Reading...

Tanggalkan Ego Subjektif,,,

Beberapa kali saya ikut acara yang diselenggarakan oleh ICRP, acara terakhir yang saya ikuti diadakan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Acara tersebut mengundang tokoh-tokoh lintas agama dan lintas ormas untuk memperbincangkan tentang fenomena keberagamaan di Indonesia yang belakangan ini agak sedikit semrawut. Bentuk kesemrawutan itu seperti adanya konflik warga dengan Ahmadiyah, konflik penganut Islam dan Kristen, konflik tentang perkawinan beda keyakinan, dan konflik-konflik politik yang dibalut cantik dengan atas nama agama. Pasca mengikuti acara tersebut, saya mengirimkan sms kepada ICRP agar dapat mengundang saya pada acara lain yang diadakan oleh ICRP. Walhasil diundanglah saya pada soft launching Posbakum pada hari selasa 26 Juli 2011 bertempat di kantor ICRP. Karena meminta otomatis saya harus berkomitmen untuk menghadiri undangan tersebut.

Undangan pukul 15.00 WIB dan tiga puluh menit sebelum itu saya sudah tiba di kantor ICRP Jakarta Pusat. Karena masih ada waktu tiga puluh menit saya mencoba menjalin percakapan dengan peserta lain yang kebetulan sudah berada lebih dahulu dari saya. Sebut saja namanya si A, dia adalah pengelola yayasan sosial di daerah Jakarta Utara, yayasan sosial tersebut bergerak dibidang sosial untuk memfasilitasi anak-anak usia Sekolah Dasar agar mengembangkan bakat dan potensinya. Si A bercerita panjang kepada saya tentang persoalan yang dihadapinya belakangan terakhir ini. Si A tengah mengupayakan agar rumah sosial tersebut bisa diperbaiki dan diperluas hingga lantai dua, sehingga layak untuk menampung anak-anak yang jumlahnya tidak sedikit.

Alhamdulillah si A berhasil mendapatkan bantuan dana dari sebuah yayasan Kristen, dan bagusnya lagi yayasan Kristen tersebut bermaksud mendanai secara penuh pembangunan rumah sosial tersebut. Karena memang yayasan Kristen tersebut mempunyai dana cadangan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat. Tentu tawaran dari yayasan Kristen tersebut disambul baik oleh si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Si A kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk dapat terlaksanannya program pembangunan rumah sosial yang baru. Konsep sudah matang dipersiapkan tinggal perijinan secara administrasi birokrasi, pada tataran RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan memberi ijin atas pembangunan rumah sosial baru bagi anak-anak yang kurang mampu yang berpotensi mempunyai kemampuan lebih. Tapi sayang perijinan tersebut terkendala pada seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama di lingkungan setempat.

Tokoh agama tersebut tidak memberi ijin dengan alasan Kristenisasi pada rumah sosial tersebut. Tokoh agama tersebut kata si A bahkan sampai menghasut kepada warga lingkungan setempat agar mengikuti jejaknya. Anehnya, setiap diajak berdiskusi/berbincang secara personal oleh si A, tokoh agama tersebut tidak pernah bersedia. Dan parahnya aparat birokrasi tidak berani tanda tangan jika tokoh agama tersebut tidak memberikan ijinnya. Sampai disini persoalan semakin rumit, sementara yayasan Kristen yang memberi bantuan dana berharap banyak agar dana tersebut benar-benar bisa dipergunakan untuk aktivitas sosial. Si A tentu sangat tidak enak hati dengan yayasan kristen pemberi dana, karena tidak mudah bagi si A untuk meyakinkan yayasan tersebut agar mencairkan dananya bagi pembangunan rumah sosial di daerah Jakarta Utara.

Secara pribadi saya tidak membela siapapun, saya percaya dan yakin bahwa masing-masing pihak mempunyai alasan yang kuat atas sikapnya. Tokoh agama tersebut pastinya sangat ketakutan jika ada kristenisasi di lingkungannya. Si A juga tidak salah karena dia telah menjelaskan bahwa yayasan tersebut bukan yayasan agama melainkan yayasan sosial masyarakat yang berprinsip mengagungkan kebenaran nilai substansial bukan agama. Kemungkinan yang bermasalah selama ini menurut saya adalah komunikasi yang kurang efektif diantara keduanya. Sehingga perspektif subjektif mereka berkembang seiring dan sejalan hingga memuncak bagai fenomena gunung es.

Tapi secara idealisme sebenarnya tokoh agama tersebut tidak perlu ketakutan berlebihan dengan istilah Kristenisasi, jika lingkungan setempat masyarakatnya sudah beragama dengan benar pastinya tidak akan terpengaruh dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Karena menurut saya bagi pemeluk agama yang taat dan alim pasti tidak akan mudah terpengaruh dengan agama lain. Agama itu suatu pilihan pribadi dan agama adalah sebuah pedoman hidup yang sangat hakiki. Orang memeluk dan memilih agamanya dengan kesadaran yang tinggu bukan seperti memilih barang dagangan.

Indonesia bukan negara agama melainkan negara yang bersumber pada hukum, meskipun Indonesia bukan negara agama tetapi negara Indonesia mengakui beberapa agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Karena bukan negara agama, hendaknya segala persoalan yang ada di masyarakat diselesaikan bukan dengan aturan agama melainkan dengan aturan hukum. Agama seharusnya menjadi keyakinan subjektif yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan karakter sehari-hari. Orang yang beragama seharusnya: santun, toleran, menolong, memberi maaf, menghargai, dan objektif dalam berfikir. Yang perlu dikembangkan secara bersama-sama adalah kebaikan substansial (kebaikan nilai), karena saya sangat yakin bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan universal.

Dalam kasus di atas, hendaknya tokoh agama tersebut bisa menelaah terlebih dahulu tentang yayasan sosial tersebut. Apa tujuannya, visi dan misinya, siapa donaturnya, siapa pesertanya, dan apa saja aktivitasnya. Selama tidak ada yang bertentangan secara substansi, tidak selayaknya tokoh agama tersebut menghalangi rencana pembangungan rumah baru bagi yayasan sosial tersebut. Apalagi sampai menghasut orang lain untuk mendukung aksinya, padahal belum pernah sekalipun diadakan dialog terbuka antara tokoh agama dengan si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Saat ini bukan lagi jaman jadul tetapi sudah merupakan jaman modern dan global. Cara pandang dan cara sikap manusia juga sudah berada pada level canggih secanggih teknologi yang ada. Sehingga sudah tidak pantas lagi menyelesaikan persoala-persoalan dengan cara tertutup/main belakang. Selesaikan persoalan yang ada dengan dialog, diskusi, kepala dingin, kesantunan, dan keterbukaan dengan menanggalkan ego subjektif/ego pribadi.

Continue Reading...

Tanggalkan Ego Subjektif,,,

Beberapa kali saya ikut acara yang diselenggarakan oleh ICRP, acara terakhir yang saya ikuti diadakan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Acara tersebut mengundang tokoh-tokoh lintas agama dan lintas ormas untuk memperbincangkan tentang fenomena keberagamaan di Indonesia yang belakangan ini agak sedikit semrawut. Bentuk kesemrawutan itu seperti adanya konflik warga dengan Ahmadiyah, konflik penganut Islam dan Kristen, konflik tentang perkawinan beda keyakinan, dan konflik-konflik politik yang dibalut cantik dengan atas nama agama. Pasca mengikuti acara tersebut, saya mengirimkan sms kepada ICRP agar dapat mengundang saya pada acara lain yang diadakan oleh ICRP. Walhasil diundanglah saya pada soft launching Posbakum pada hari selasa 26 Juli 2011 bertempat di kantor ICRP. Karena meminta otomatis saya harus berkomitmen untuk menghadiri undangan tersebut.

Undangan pukul 15.00 WIB dan tiga puluh menit sebelum itu saya sudah tiba di kantor ICRP Jakarta Pusat. Karena masih ada waktu tiga puluh menit saya mencoba menjalin percakapan dengan peserta lain yang kebetulan sudah berada lebih dahulu dari saya. Sebut saja namanya si A, dia adalah pengelola yayasan sosial di daerah Jakarta Utara, yayasan sosial tersebut bergerak dibidang sosial untuk memfasilitasi anak-anak usia Sekolah Dasar agar mengembangkan bakat dan potensinya. Si A bercerita panjang kepada saya tentang persoalan yang dihadapinya belakangan terakhir ini. Si A tengah mengupayakan agar rumah sosial tersebut bisa diperbaiki dan diperluas hingga lantai dua, sehingga layak untuk menampung anak-anak yang jumlahnya tidak sedikit.

Alhamdulillah si A berhasil mendapatkan bantuan dana dari sebuah yayasan Kristen, dan bagusnya lagi yayasan Kristen tersebut bermaksud mendanai secara penuh pembangunan rumah sosial tersebut. Karena memang yayasan Kristen tersebut mempunyai dana cadangan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat. Tentu tawaran dari yayasan Kristen tersebut disambul baik oleh si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Si A kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk dapat terlaksanannya program pembangunan rumah sosial yang baru. Konsep sudah matang dipersiapkan tinggal perijinan secara administrasi birokrasi, pada tataran RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan memberi ijin atas pembangunan rumah sosial baru bagi anak-anak yang kurang mampu yang berpotensi mempunyai kemampuan lebih. Tapi sayang perijinan tersebut terkendala pada seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama di lingkungan setempat.

Tokoh agama tersebut tidak memberi ijin dengan alasan Kristenisasi pada rumah sosial tersebut. Tokoh agama tersebut kata si A bahkan sampai menghasut kepada warga lingkungan setempat agar mengikuti jejaknya. Anehnya, setiap diajak berdiskusi/berbincang secara personal oleh si A, tokoh agama tersebut tidak pernah bersedia. Dan parahnya aparat birokrasi tidak berani tanda tangan jika tokoh agama tersebut tidak memberikan ijinnya. Sampai disini persoalan semakin rumit, sementara yayasan Kristen yang memberi bantuan dana berharap banyak agar dana tersebut benar-benar bisa dipergunakan untuk aktivitas sosial. Si A tentu sangat tidak enak hati dengan yayasan kristen pemberi dana, karena tidak mudah bagi si A untuk meyakinkan yayasan tersebut agar mencairkan dananya bagi pembangunan rumah sosial di daerah Jakarta Utara.

Secara pribadi saya tidak membela siapapun, saya percaya dan yakin bahwa masing-masing pihak mempunyai alasan yang kuat atas sikapnya. Tokoh agama tersebut pastinya sangat ketakutan jika ada kristenisasi di lingkungannya. Si A juga tidak salah karena dia telah menjelaskan bahwa yayasan tersebut bukan yayasan agama melainkan yayasan sosial masyarakat yang berprinsip mengagungkan kebenaran nilai substansial bukan agama. Kemungkinan yang bermasalah selama ini menurut saya adalah komunikasi yang kurang efektif diantara keduanya. Sehingga perspektif subjektif mereka berkembang seiring dan sejalan hingga memuncak bagai fenomena gunung es.

Tapi secara idealisme sebenarnya tokoh agama tersebut tidak perlu ketakutan berlebihan dengan istilah Kristenisasi, jika lingkungan setempat masyarakatnya sudah beragama dengan benar pastinya tidak akan terpengaruh dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Karena menurut saya bagi pemeluk agama yang taat dan alim pasti tidak akan mudah terpengaruh dengan agama lain. Agama itu suatu pilihan pribadi dan agama adalah sebuah pedoman hidup yang sangat hakiki. Orang memeluk dan memilih agamanya dengan kesadaran yang tinggu bukan seperti memilih barang dagangan.

Indonesia bukan negara agama melainkan negara yang bersumber pada hukum, meskipun Indonesia bukan negara agama tetapi negara Indonesia mengakui beberapa agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Karena bukan negara agama, hendaknya segala persoalan yang ada di masyarakat diselesaikan bukan dengan aturan agama melainkan dengan aturan hukum. Agama seharusnya menjadi keyakinan subjektif yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan karakter sehari-hari. Orang yang beragama seharusnya: santun, toleran, menolong, memberi maaf, menghargai, dan objektif dalam berfikir. Yang perlu dikembangkan secara bersama-sama adalah kebaikan substansial (kebaikan nilai), karena saya sangat yakin bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan universal.

Dalam kasus di atas, hendaknya tokoh agama tersebut bisa menelaah terlebih dahulu tentang yayasan sosial tersebut. Apa tujuannya, visi dan misinya, siapa donaturnya, siapa pesertanya, dan apa saja aktivitasnya. Selama tidak ada yang bertentangan secara substansi, tidak selayaknya tokoh agama tersebut menghalangi rencana pembangungan rumah baru bagi yayasan sosial tersebut. Apalagi sampai menghasut orang lain untuk mendukung aksinya, padahal belum pernah sekalipun diadakan dialog terbuka antara tokoh agama dengan si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Saat ini bukan lagi jaman jadul tetapi sudah merupakan jaman modern dan global. Cara pandang dan cara sikap manusia juga sudah berada pada level canggih secanggih teknologi yang ada. Sehingga sudah tidak pantas lagi menyelesaikan persoala-persoalan dengan cara tertutup/main belakang. Selesaikan persoalan yang ada dengan dialog, diskusi, kepala dingin, kesantunan, dan keterbukaan dengan menanggalkan ego subjektif/ego pribadi.

Continue Reading...

Tuesday, September 20, 2011

Lele-Lele Loncat-Loncat,,

Waktu itu saya sedang di kampung halaman,

Kala itu pukul 19.30 waktu Indonesia bagian kampung,

Tiba-tiba saudara saya Mbak Jum namanya datang ke rumah saya dengan membawa ember,

Ember tersebut ternyata berisi air sumur,

Mbak Jum: nok ayo anter aku ngambil lele.

Saya: lele dimana mbak?

Mbak Jum: itu di depan rumah Lek Kusmi ada lele jatuh.

Saya: eit, emang punya siapa? kok maen ambil ajah?

Mbak Jum: lelenya Mbah Purah, paling loncat dari embernya Mbah Purah terus ngesot sampe depan rumah Lek Kusmi.

Saya: hahaha, yaudah ambil ajah lah, lumayan kan buat besok sarapan.


Akhirnya saya mengantar Mbak Jum mengambil lele tersebut yang sudah berlumuran tanah,

Ternyata lelenya super besar, tiga kali lipat lele pada umumnya,,

Setelah diambil lele tersebut dibawa pulang oleh Mbak Jum,,

Kebetulan rumah Mbak Jum di belakang persis rumah saya,,


Pagi hari setelah sholat subuh saya dipanggil oleh Embah saya,,

Embah: nok sini?

Saya: iya Embah ada apa?

Embah: ini saya nemu lele jumbo di depan rumah Mbak Jum.

Saya: paling itu lele yang semalam ditemukan sama Mbak Jum Mbah.

Embah: bukan, kata Mbak Jum lele yang di ember rumahnya masih ada kok.

Saya: lha kok bisa pada loncat-loncatan lelenya Mbah Purah?

Embah: kemaren anak Mbah Purah cerita beli lele jumbo se ember penuh.

Saya: terus pada loncat-loncatan gitu lelenya?

Embah: biarin ajah, lagipula buat pelajaran Mbah Purah, dia kan pelit nok.

Saya: hahaha, masa sih pelit?

Embah: bukan pelit lagi tapi sangat medit untuk urusan makanan.

Saya: bisa saja ne Embah.


Akhirnya dua lele tersebut dijadikan satu dan digoreng sama Mbak Jum di rumah saya,,

Bener-bener gede lelenya,,

Saya ajah sampe melongo ngelihatnya,,

Saya disuruh motong sama Mbak Jum menolak,,

Saya tidak tega lihat lelenya masih gerak-gerak,,

Akhirnya Mbak Jumlah yang melakukan pembunuhan terhadap lele tersebut,,


Mbak Jum: nok dosa gak ya klo kita makan lele ini tanpa seijin Mbah Purah?

Saya: gimana ya mbak? enaknya sih ijin biar gak jadi seret di tenggorokan.

Mbak Jum: tapi biarin ajah nok, wong dia kan jarang ngasih makanan ke kita-kita.

Saya: tetep ajah ini lele bukan punya kita Mbak.

Mbak Jum: menurut saya ini sudah takdir, lele-lele ini memang sengaja datang kemari, dia memang menyerahkan dirinya untuk kita makan, lele-lele ini tahu klo kita pengen makan lele goreng, makanya dia kemari.

Saya: hahaha,, bisa ajah ne Mbak Jum.


Tiba-tiba tetangga saya datang, kebetula dia sering maen ke rumah Mbah Purah,,

Tetangga: kok ada lele dapat dari mana?

Mbak Jum: itu sinok yang tadi beli di pasar.

Tetangga: owh, kirain lele dapat dari mana gitu.

Mbak Jum: enggak, sinok yang beli di pasar.


Setelah tetangga saya pulang, saya langsung menoleh ke Mbak Jum,,

Kami pun akhirnya tertawa ngakak bersama-sama,,

Hahahaha,,

Tapi enak juga lele-lele tersebut setelah digoreng sama Mbak Jum,,

Kata adek saya judulnya: "lele colongan enak juga ya?"

Mantab,,
Continue Reading...
 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog