Saturday, January 31, 2009

Keresahanku Terhadap Perempuan

wahai perempuanku
kira-kira kenapa tuhan menciptakan kita?
mungkinkah tuhan hanya mempermainkan perempuan?
pasti kita akan menjawab tidak
karena sesungguhnya dibalik ketangguhan tuhan, pasti ada keadilan tuhan atas ciptaannya

wahai perempuanku
aku sangat yakin bahwa tuhan itu sangat adil
bahwa tuhan itu tidak membedakan manusia dari jenis kelaminnya

so?
semangatlah
kerjakeraslah
berjuanglah
untuk apa yang kamu impikan
untuk apa yang kamu cita-citakan
untuk segala obsesimu
untuk segala yang mungkin terasa membelenggumu

karena sesungguhnya
belenggu bukanlah kebenaran
belenggu bukanlah berarti harus kita iyakan

anggaplah
bahwa belenggu adalah bagian dari absurditas dan kepentingan
bahwa belenggu diciptakan oleh orang-orang yang tidak banyak pekerjaan
bahwa belenggu hanyalah akal-akalan

wahai perempuanku
mulailah untuk percaya diri
mulailah untuk bangkit
mulailah untuk menatap masa depan dengan keberanian dan kemandirian

kalau bukan kita
siapa lagi yang akan merubah dunia?
Continue Reading...

caleg tak berduit

IRONI CALEG DARI KAMPUNG DAN TAK BERDUIT

Ditulis oleh: Sri Imawati S.Pd, M.Pd

Guru SMA Muhammadiyah 18 Jakarta Selatan dan Dosen STAI Bina Madani Tangerang

Saya seorang perempuan berusia 25 tahun. Saya bekerja sebagai guru honor di SMU Muhammadiyah 18 Jakarta Selatan dan dosen honor di STAI Bina Madani Tangerang. Saya orang kampung yang merantau ke Jakarta dengan setumpuk harapan baru. Meskipun sampai saat ini harapan tersebut masih menjadi absurditas yang nyata. Tentunya bukan sepenuhnya karena ketidakmampuan saya, akan tetapi menurut saya lebih pada system strukturalis yang telah mengakumulasi menjadi sebuah kebenaran ironis. Terlalu berat untuk saya definisikan, harap maklum saya adalah orang kampung yang tidak banyak tahu tentang teori-teori ilmiah yang biasa dibicarakan para pejabat. Saya hanya bermodal nekat merantau ke Jakarta setelah lulus Sarjana daru Universitas Negeri Semarang Jawa Tengah.

Saya memang orang kampung, tapi alhamdulillah puji syukur atas campur tangan Tuhan karena telah memberikan jalan kepada saya untuk menyelesaikan program S2. Meskipun harus mengalami perjuangan yang sangat berat untuk bisa memperoleh gelar Magister Pendidikan. Bukan karena saya bodoh atau malas, tetapi lebih karena saya tidak punya banyak duit untuk membiayai kuliah S2 saya. Untung saya orang kampung, sehingga tidak terlalu kaget ketika harus bekerja keras mencari sumbangan kesana kemari demi kesuksesan kuliah S2 saya. Dengan cara menunggak SPP, menunggak buku, menunggak bayaran-bayaran yang lain, dan bahkan menunggak iuran kas kelas, saya bisa menyelesaikan kuliah dengan tanpa masalah. Hanya malu yang saya rasakan, tapi saya pikir itu bukan masalah karena saya orang kampung.

Tahun 2008 kemaren saya di hubungi teman dekat saya untuk menjadi Calon Legislatif dari sebuah partai baru. Saya akan di calonkan untuk DPR RI di Daerah Pemilihan Jawa Tengah yang kebetulan di tanah kelahiran saya. Saya bingung dan tidak tahu harus menjawab apa? Seingat saya, menjadi anggota DPR adalah obsesi saya dan merupakan salah satu alasan mengapa saya datang ke Jakarta. Tetapi kemudian, saya menjadi sangat ketakutan setelah ingat bahwa untuk menjadi caleg kata orang butuh duit yang tidak sedikit. Bukan saya pelit, tetapi memang saya tidak mempersiapakan diri untuk menjadi caleg di tahun 2009 ini. Bahkan mungkin di tahun 2014 pun saya belum tentu siap, jika klaim yang muncul adalah caleg harus punya duit yang banyak.

Singkat cerita saya telah mengurus semua berkas-berkas kelengkapan untuk menjadi caleg. Dan nama saya telah ditetapkan sebagai salah satu Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPU. Konsekuensi logis yang harus saya siapkan yaitu waktu yang banyak untuk bisa berkampanye di Jawa Tengah. Sementara aktivitas pekerjaan saya berada di Jakarta, ditambah pesimisme saya yang sangat mengganggu yaitu ketiadaan duit untuk modal berkampanye. Saya sempat down dan bilang ke teman-teman caleg yang lain, bahwa saya tidak akan berkampanye dan hanya akan puas menjadi caleg pelengkap atau caleg penggembira. Apalagi jenis kelamin saya kebetulan perempuan, jenis kelamin yang dalam realitas politis dan cultural hanya menjadi lipstik atau pemenuh quota 30%.

Dalam kondisi pasrah penuh beban, ada seorang caleg perempuan berusia 40 tahun datang menghampiri saya. Dia mengajak diskusi saya tentang nilai sebuah perjuangan, dia bilang bahwa: ”Ketika berjuang di masyarakat untuk mengumpulkan suara, jangan berorientasi untuk jadi tetapi lebih pada ’nilai’. Nilai yang berorientasi pada hasil perubahan atau minimal memberikan sedikit makna hidup bagi masyarakat tersebut. Sehingga ketika sudah berjuang dan ternyata gagal, kita masih tetap bisa tersenyum gembira. Karena waktu, tenaga, kesabaran, dan mungkin materi yang telah kita keluarkan tidak sia-sia.” Saya sangat kagum dengan nasehat ibu tersebut, sesuatu yang terkesan naif dan munafik, ditengah kondisi perpolitikan di Indonesia yang hampir seluruhnya busuk. Berjuang bukan hanya untuk suara akan tetapi juga untuk ’nilai’, meskipun pemaknaan terhadap nilai terasa sangat subjektif. Tapi saya juga masih yakin dan sepakat, bahwa hampir semua manusia di dunia ini hidup untuk memperjuangkan ’nilai’ substansi dari kehidupan.

Kata-kata perjuangan masih terus bergelayut menganggu hari-hari saya. Sesuatu yang telah lama terlupakan oleh saya dan akhirnya memaksa otak saya untuk bertanya kenapa saya bisa lupa dengan nilai-nilai perjuangan tersebut? Sebuah ironi yang menyakitkan dan sangat tidak membanggakan sama sekali. Tapi kemudian saya teringat oleh kisah teman saya yang kebetulan berlatar belakang dari keluarga komunis. Dia bercerita kepada saya bahwa dia telah diterima menjadi pegawai negeri sipil sebagai guru SMP. Saya kaget dan langsung membrondongnya dengan sederet pertanyaan-pertanyaan sinis. Saya bilang ke teman saya: “Sejak kapan komunis tertarik menjadi pegawai negeri sipil?.” Kemudian teman saya menjawab: “Sejak keluarga komunis ditindas, disika, dibunuh, dan bahkan anak keturunannya diasingkan oleh masyarakat. Saya bangga akhirnya bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa anak komunis bisa menjadi pegawai negeri dengan cara jujur. Dan saya akan menjadi guru yang baik juga terhormat di mata murid-murid saya dan rekan-rekan saya. Saya juga akan memperjuangkan nasib guru honor yang tidak diangkat-angkat oleh pemerintah. Itulah bentuk perjuangan yang akan saya lakukan sebagai anak komunis.” Saya tidak puas dengan jawaban teman saya, kemudian saya melanjutkan pertanyaan saya: “Sejak kapan pegawai negeri sipil punya kebebasan untuk bersuara dan mengkritik penguasa? Jangan-jangan itu hanya apologimu saja?.” Teman saya memberikan jawaban yang tidak saya sangka-sangka: “Terus, kenapa kamu tertarik ingin menjadi anggota dewan?.”

Jawaban teman saya yang terkhir sangat menusuk ulu hati saya, yang kemudian menyadarkan lamunan saya. Kenapa para caleg-caleg dengan begitu gampangnya berjanji akan memberikan perubahan dalam segala aspek kehidupan. Seoerti akan memberikan pendidikan gratis, memperhatikan anak-anak terlantar, menambah lapangan pekerjaan, memberikan kesehatan gratis, membangunkan jalan-jalan kampung, menurunkan bahan bakar minyak, dan masih banyak obralan janji yang lainnya. Ternyata setelah menjadi anggota dewan mereka sibuk dengan urusan masing-masing, jangankan mengabulkan janjinya, untuk ditemui saja kita harus melewati banyak ritul birokrasi yang sangat menjengkelkan. Alih-alih sadar setelah dikritik, yang ada hanyalah jawaban yang membual dengan alasan sibuklah, banyak kerjaan, banyak kepentingan, dan belum sempat berkunjung ke daerah-daerah yang dulu pernah memilihnya dengan tulus. Sehingga dia merasa tidak perlu ‘ngopeni’ pemilihnya yang dulu. Kemudian dirinya berfikir secara praktis dan teknis, bahwa suara masyarakat miskin bisa dibeli dengan duit yang banyak. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa pemilih kita sebagian adalah pemilih yang butuh duit untuk sekedar beli beras.

Mengingat semua itu menciutkan nyali saya sebagai caleg muda yang hanya berasal dari kampung, ditambah bahwa saya tidak mempunyai saving dana sama sekali untuk kampanye. Saya kembali teringat dengan kata-kata perjuangan untuk nilai, benarkah masyarakat masih bisa mendengar dan melihat kepada caleg-caleg seperti saya? Caleg yang tidak berani berjanji karena takut dianggap omong kosong dan caleg yang sama sekali tidak punya duit untuk membuat atribut-atribut kampanye seperti: kaos, bendera, stiker, pin, kartu nama, dan baliho. Alasan itulah yang kemudian memaksa saya untuk menghadap cermin besar dan melihat ke cermin tersebut siapakah saya? Untuk apa saya menjadi caleg? Dan untuk siapa saya berjuang?

Kemudian saya terinspirasi oleh Presiden baru Amerika Serikat, yang mengawali perjuangannya dengan ketiadaan, semangat, kerja keras, sandungan-sandungan, dan tanpa modal yang banyak tetapi akhirnya bisa terpilih menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat. Bulan Desember akhir ketika ada liburan sekolah selama dua minggu saya menguatkan diri untuk pulang dengan niat untuk kampanye. Karena tidak memiliki banyak uang, saya memaketkan motor untuk saya gunakan berkeliling ke empat Kabupate/Kota di daerah pemilihan saya. Selama dua minggu tersebut saya mendatangi teman-teman lama saya. Saya bersilaturahmi dan berdiskusi panjang tentang pencalegan saya. Untungnya dari teman-teman yang saya datangi, mereka merespon dan akan berusaha untuk membantu saya. Sayangnya, saya tidak cukup punya keberanian untuk mendatangi konstituen yang tua-tua. Bukan tidak berani bicara, tetapi saya takut jika ketika saya datang saya diminta untuk berjanji atau dimintai atribut-atribut kampanye yang terus terang sama sekali saya tidak punya. Karena selama dua minggu turun ke bawah, saya hanya mempunyai kartu nama yang jumlahnya hanya 1000 lembar. Saya cetak dengan harga Rp. 300.000 itupun duit pemberian dari ibu saya.

Dua minggu turun kebawah telah beralalu, sayapun kembali ke Jakarta untuk kembali pada rutinitas saya sebagai guru dan dosen honor. Kata teman saya, pekerjaan yang bikin suara serak tapi gajinya cekak, meskipun benar saya berusaha ikhlas menjalaninya. Ada dua hikmah besar yang saya dapatkan dari turun ke bawah tersebut. Yang pertama, saya tidak lagi berorientasi untuk mendapatkan suara tetapi saya sangat bahagia karena bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah lama tidak bersua. Kebahagiaan hakiki yang tidak bisa saya lukiskan dengan kata, kebahagiaan bisa bernoltasgia tentang kebersamaan masa lalu ketika di kampuns dan ketika menjadi aktivis. Inilah kemudian yang membuat saya bertanya, kenapa ada caleg yang tega membeli nurani kebebasan untuk memilih dengan selembar lima puluh ribuan atau seratus ribuan? Tidakkah dia berfikir bahwa pemilih yang menggunakan hatinya akan jauh lebih membekas dari pada pemilih yang memilih karena merasa berhutang budi?

Yang kedua, saya sedih ketika melihat ibu saya, pakde, dan nenek saya menangis dan mereka bilang: “Kamu itu orang kampung dan juga orang miskin, jadi tidak usah macam-macam. Untuk menjadi caleg itu harus punya banyak duit, sedangkan kita itu hanya petani kampung yang tidak punya banyak duit untuk membantu kamu kampanye.” Saya sedih kenapa semua orang seakan-akan sepakat tanpa kompromi, bahwa untuk menjadi caleg itu harus punya banyak uang? Kenapa masyarakat tidak berfikir untuk merubah system, bahwa orang miskin dan kampung seperti sayapun, punya hak untuk menjadi seorang caleg. Kenapa musti harus menggunakan atribut-atribut seperti: bendera, kaos, pin, stiker, kartu nama, dan baliho yang harganya tidak murah bahkan harus menghabiskan ratusn juta untuk mengadakan itu semua. Kenyataannya memang tidak seinda idealisme, bahkan sayapun malu ketika ditanya teman yang juga nyaleg, dia tanya berapa uang yang sudah saya keluarkan untuk kampanye dan membuat atribut? Karena saya baru menghabiskan dana Rp. 300.000 untuk sekedar membuat kartu nama. Sekali lagi bukan pelit, tapi karena memang hanya itulah yang saya mampu lakukan.

Untuk kesekian kalinya, nyali dan semangat saya kembali ciut. Sementara pemilu legislatif tinggal dua bulan lagi. Saya merasa bahwa tanpa duit saya tidak bisa banyak berbuat. Tanpa duit saya tidak bisa banyak mengajak orang untuk menjadi relawan. Tanpa duit saya tidak bisa pulang pergi Jakarta Jawa Tengah. Bahkan tanpa duit saya tidak bisa mengenalkan diri saya kepada masyarakat pemilih, karena secara otomatis saya tidak mempunyai atribut-atribut. Bukan menyalahkan yang punya duit dan bukan pula menyalahkan diri saya yang tidak punya duit. Saya hanya berfikir, kenapa musti menggunakan duit untuk menjadi anggota DPR. Sehingga seolah-olah benar, bahwa orang kampung dan tidak berduit seperti saya tidak layak untuk menjadi caleg. Semoga tidak benar, dan semoga masih ada kesempatan buat saya untuk menyampaikan pesan kepada para pemilih di daerah pemilihan saya bahwa:

1. Saya tidak berani berjanji karena saya takut ingkar

2. Saya tidak berani memberi uang karena saya memang tidak punya

3. Saya tidak merasa benar tapi hanya ingin diberi kesempatan

4. Saya tidak merasa cerdas tapi saya hanya ingin berjuang untuk masyarakat

5. Saya memang dari kampung dan tidak berduit, tapi saya warga negara Indonesia yang mempunyai hak untuk mewakili rakyat di DPR

6. Saya tidak merasa muda, tapi memang saatnya yang muda mengabdi

Karena janji, materi, kebenaran, kecerdasan, asal, dan usia terkadang menjadi sangat abstrak dan hampir diidentikkan dengan absurditas yang berkepentingan. Sehingga ada generalisir yang berlebihan di masyarakat, ada apatisme yang mengakumulasi, bahkan meningkatnya kesinisan masyarakat kepada pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Semoga ada kebaikan yang bisa dipetik, bahwa dari ketidakpercayaan tersebut akan menjadikan masyarakat lebih bijaksana dan selektif untuk memilih. Amien.

Continue Reading...
 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog