Sunday, October 11, 2009

Tawuran Pelajar...

FENOMENA TAWURAN PELAJAR
Oleh: Sri Imawati S.Pd, M.Pd
(Mahasiswa S3 Jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Pada Universitas Negeri Jakarta)

Tawuran pelajar bagi sebagian masyarakat bukan lagi merupakan hal yang asing atau aneh, masyarakat di desa maupun di kota pasti sudah sering menyaksikan tawuran pelajar atau bahkan tawuran antar mahasiswa. Bagi masyarakat yang sering menyaksikan tawuran, mereka tidak lagi simpatik dengan para pelajar atau mahasiswa yang suka tawuran. Ketidaksimpatikan itu tentu karena ada anggapan umum bahwa anak-anak yang suka tawuran adalah anak-anak yang bandel dan tidak bisa diatur. Bahkan anggapan umum yang lebih ekstrim yaitu bahwa anak-anak tawuran adalah anak-anak yang tidak beretika dan pembuat onar di masyarakat.
Fenomena dalam sosial masyarakat, tawuran termasuk dalam kategori hal-hal yang meresahkan dan mengganggu. Selain tawuran ada hal-hal lain yang juga meresahkan dan dianggap sebagai persoalan dalam masyarakat seperti: free seks, narkoba, balapan motor liar, mabuk-mabukan, pelacuran, dan kasus-kasus lainnya. Persoalan tersebut tidak lepas dari kehidupan anak-anak remaja di Indonesia yang statusnya adalah pelajar dan mahasiswa. Lebih banyak melekat pada pelajar karena pelajar adalah usia remaja yang masih dalam pencarian jati diri, sehingga para pelajar mengalami masa-masa labil dan mengalami masa-masa dimana banyak pertanyaan yang tidak terjawab dengan sempurna.

Usia remaja adalah usia yang rentan dengan masalah, karena pada usia remaja anak-anak mulai dituntut oleh banyak tugas dan tanggung jawab yang sifatnya baru bagi mereka. Tugas dan tanggung jawab itu seperti misalnya: mulai dewasa, mulai suka/tertarik dengan lawan jenis, mulai mandiri, mulai peduli dengan temannya, mulai mengelompok, mulai menyadari bakat, mulai terobsesi dengan sesuatu, mulai coba-coba, dan mulai banyak bertanya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak diketahuinya.

Jika didikan dari orang tua sedari kecil ada kesalahan, maka pada usia remaja si anak akan melangkah pada pilihan yang kurang tepat. Misalnya anak yang sedari kecil tidak pernah diberi informasi tentang seks, maka ketika dia remaja dia akan mencoba bermain seks sekedar untuk mengetahui dan coba-coba. Atau kasus lain perempuan yang dari kecil tidak pernah diberi pengetahuan tentang menstruasi, maka ketika dia mendapatkan menstruasi pertama dia tidak cerita kepada kedua orang tuanya. Alih-alih cerita, dia merasa malu dan takut dengan datangnya menstruasi tersebut.
Didikan orang tua tentang laki-laki dan perempuan yang dibedakan juga mengakibatkan anak laki-laki cenderung merasa lebih super hero dibandingkan perempuan, sehingga secara umum yang suka berkelahi atau tawuran adalah anak-anak remaja jenis kelamin laki-laki. Anak remaja perempuan tumbuh dengan kelembutan, kecantikan, kemanjaan, dan ketakutannya akan hal-hal yang menantang yang biasa dilakukan oleh teman-teman laki-lakinya. Para remaja laki-laki merasa bahwa dia akan disebut sebagai laki-laki jika dirinya berani berkelahi dan melakukan hal-hal yang ekstrim seperti balap-balapan motor dan berkelahi.
Kembali pada fenomena tawuran pelajar di ibu kota, bahwa tawuran pelajar di ibu kota bukan lagi aneh dan merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan segera. Masyarakat bahkan sudah sangat bosan dan jenuh dengan tingkah polah para pelajar yang suka tawuran. Masyarakat bahkan tidak mau tahu meski akibat dari tawuran bisa mengakibatkan melayangnya nyawa manusia, atau mengakibatkan cacat maupun meresahkan masyarakat. Masyarakat menyerahkan masalah tawuran sepenuhnya kepada aparat yang berwenang yaitu polisi, karena memang keamanan secara struktural menjadi tanggung jawab kepolisian di Republik Indonesia.
Anggapan umum masyarakat tidak bisa disalahkan atau dibenarkan secra mutlak, karena tentunya dalam setiap persoalan pasti ada penyebab atau latar belakang terjadinya masalah. Masyarakat tidak bisa menyalahkan pelajar yang tawuran secra mutlak, dan para pelajar juga tidak bisa merasa benar dan punya alasan kenapa musti tawuran. Ada beberapa hal yang sepertinya harus dibicarakan dengan tidak gegabah dan tergesa-gesa. Beberapa alasan yang membuat para pelajar memutuskan untuk tawuran yaitu:
1. Membela teman (setia kawan)
2. Membela harga dirinya (prinsip untuk tidak dilecehkan)
3. Membela almamaternya (nama baik sekolah)
4. Kebersamaan dalam tongkrongan (teman sebaya)
5. Menunjukkan eksistensinya (keberanian diri)
6. Kesenangan (pengalaman pada masa sekolah)
7. Menyelesaikan masalah (melawan jika dihina)
Pada usia remaja rasa setia kawan tiba-tiba begitu tingginya, bahkan dari perkawanan tersebut mereka bisa bersaudara melebihi saudara kandungnya sendiri. Tidak jarang mereka menjadi saudara angkat dalam istilah perkawanannya, yang kemudian saling memberi dan menerima. Jika sudah berkawan dan cocok, maka masing-masing akan saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Hubungan ini tidak sempit hanya pada hubungan cinta atau lawan jenis, tetapi lebih dari sekedar hubungan percintaan.
Selain mereka mencintai teman-temannya, cinta terhadap sekolah/almamater juga menjadi sesuatu yang penting. Mereka merasa bahwa almamaternya harus lebih bagus dan lebih terkenal dari sekolah lain, dirinya akan merasa bangga jika almamaternya dikenal oleh sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Dia merasa bahwa kebaikan dan kelebihan almamater/sekolah berarti kelebihan dan kebaikan pada para siswa-siswinya.
Kebersamaan bersama teman-temannya adalah sesuatu yang sangat berharga dan penting, apalagi jika anak tersebut adalah anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Dia akan merasa lebih nyaman dan tenang ketika sedang bersama dengan teman-temannya, karena yang memperhatikannya saat itu adalah temannya bukan lagi orang-orang terdekatnya. Dia merasa terasing dalam keluarga kandungnya dan merasa dihargai dalam komunitas pertemanannya. Bahkan dia tidak betah berada di rumah, karena rumah seolah menjadi penjara dan neraka yang memuakkan. Ini terjadi jika ternyata orang tua (bapak dan ibu) sering bertengkar atau terlalu mengekang anaknya. Orang tua sering menganggap anaknya masih kecil dan harus selalu nurut dengan aturannya. Orang tua sedikit lupa bahwa anaknya telah remaja dan telah mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik buat dirinya sendiri.
Sedangkan masyarakatpun punya alasan mengapa mereka tidak sepakat atau akhirnya mengklaim negatif anak-anak remaja yang suka tawuran, yaitu:
1. Tawuran bisa menyebabkan nyawa melayang sia-sia
2. Tawuran bisa melukai atau mengakibatkan cacat anggota tubuh
3. Mengecewakan orang tua
4. Mengecewakan guru dan sekolah
5. Mengganggu masyarakat
6. Mencitrakan buruk terhadap pelajar di Indonesia
7. Perbuatan yang sia-sia

Semua orang hampir sepakat, bahwa tawuran pelajar maupun mahasiswa memang merupakan perbuatan yang sia-sia dan meresahkan keamanan masyarakat terutama pengguna jalan. Orang tua, guru, kepala sekolah juga pasti tidak suka bila anak-anaknya tawuran. Orang tua, guru, dan kepala sekolah pasti menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab. Menjadi anak yang berprestasi baik secara akademik maupun secara sosial masyarakat. Bagaimanapun masyarakat telah memiliki definisi tentang mana yang baik dan mana yang tidak baik, sehingga tawuran dengan definisi ketidakbaikan akan diberantas dan diklaim masyarakat sebagai sesuatu yang hina dan tidak bermanfaat. Tidak ada yang bisa menyalahkan definisi, karena definisi biasanya diciptakan secara bersama-sama tanpa ada perlawanan dari masyarakat yang lainnya.

Saya tidak akan mengklaim siapapun dalam kasus ini, sebagai seorang pengajar saya juga ingin murid-murid saya menjadi manusia yang baik. Baik dalam artinya mereka mengerti akan dirinya, mengerti akan tanggung jawabnya sebagai manusia, mengerti kehidupannya, dan mengerti akan prinsip hidupnya sendiri. Ada satu cerita dari pelajar yang membuat saya berfikir ulang tentang kebaikan dan keburukan, pelajar tersebut berkata saat saya menanyakan kenapa dia tawuran: " Gue tidak merasa membenarkan tawuran, tapi gue juga tidak suka jika orang menganggap gue dan teman-teman gue seperti layaknya sampah. Gue memilih bergabung dengan teman-teman gue karena mereka begitu peduli dan baik sama gue. Mereka teman-teman gue perhatian dan sayang sama gue, tidak seperti orang tua dan guru-guru gue. Mereka hanya bisa menyalahkan gue tanpa memberi masukan yang berarti untuk gue. Gue tawuran karena ada sebabnya, gue tidak terima jika teman gue dihina atau dilecehkan oleh pelajar dari sekolah lain. Gue tidak peduli teman gue salah atau benar, yang gue peduli gue tidak terima jika teman gue di hina. Gue rela mati demi harga diri teman gue, gue pengen teman-teman gue bahagia. Gue tahu kok resikonya, gue bisa saja mati atau masuk penjara, atau gue juga bisa saja kebacok saat tawuran. Tapi mohon maaf gue tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata kenapa gue seperti ini? Gue ngerti tawuran ini banyak resikonya, dan gue juga paham bahwa masyarakat tidak suka dengan tawuran pelajar. Tapi perlu diketahui, gue dan teman-teman gue tidak sehina itu, gue dan teman-teman gue punya alasan.”

Sepertinya masing-masing harus menurunkan ego dalam membahas masalah ini, masalah tidak akan selesai jika ego subjektif diutamakan dan diagungkan. Raja hampir selalu menang dari bawahannya, majikan juga seolah selalu punya hak untuk menindas pembantunya. Secara tekstual orang tua, guru, dan kepala sekolah pasti selalu akan menang atas murid-muridnya. Dan kurang bijaksana menurut saya jika orang tua, guru, dan kepala sekolah sebagai manusia yang berpendidikan tidak mampu menemukan cara-cara yang bijak dan cantik untuk sekedar memahami mengapa anak-anaknya memilih tawuran. Anak-anak tersebut juga manusia yang punya hati, manusia yang juga ingin dipahami atas apa yang diperbuatnya. Ada banyak kondisi yang saya kira masih harus diperbincangkan dengan terbuka tanpa mengklaim.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog