Saturday, October 03, 2009

Laki-laki...

Waktu saya kecil, teman-teman saya kebanyakan laki-laki dan sedikit yang perempuan. Saya senang bergaul dengan laki-laki karena laki-laki lebih tegas dan suka bermain yang menantang. Waktu kecil saya tidak pernah paham tentang gender ataupun yang sejenisnya. Yang saya tahu, perempuan-perempuan di kampung saya diajari berbeda oleh orang tuanya. Berbeda dengan kaum laki-laki, dan kerena berbeda itulah saya lebih senang bermain dengan laki-laki. Karena saya cenderung suka dengan permainan dan cara bergaul laki-laki.

Sampai saya SMP bahkan SMK saya masih berkawan dengan laki-laki dan alasan saya masih tetap sama saya lebih senang dengan laki-laki. Waktu itu saya tidak berfikir bahwa ketika bermain dengan perempuan tidak menyenangkan, berarti ada yang salah dengan perempuan. Saya lebih berfikir bahwa perempuan kadang memang menyebalkan dengan kecengengan dan kemanjaannya. Saya tidak suka manja tetapi saya tidak pernah berfikir bahwa perempuan itu manja karena bentukan oleh orang tua dan oleh masyarakat sekitarnya.

Setelah menjadi mahasiswa saya mulai berfikir bahwa perempuan sebenarnya bisa tidak manja, bisa tidak cengeng, bisa kuat, bisa berani, dan bisa menjadi pemimpin. Dan saya juga mulai sadar bahwa ketika perempuan seperti secara umum perempuan hanya menjadi korban dogma dari orang tua dan masyarakat Indonesia. Sehingga saya berfikir ketika laki-laki menjadi kuat, bertanggung jawab, tegas, tidak cengeng, dan berani itu bukan karena secara otomatis tetapi lebih karena di dogma oleh orang tua dan masyarakatnya.

Kasus yang tertarik ingin saya diskusikan yaitu bahwa dari sebelum menikah sampai setelah menikah laki-laki harus selalu memberi kepada perempuan, sedangkan perempuan harus selalu menerima dari laki-laki. Ketika pacaranpun, laki-laki yang meskipun masih SMU dan belum bekerja dipaksa memberi kepada pacarnya. Padahal logikanya mereka masih sama-sama sekolah dan sama-sama mendapatkan uang dari orang tuanya. Setelah menikah meskipun istrinya bekerja mapan dan penghasilannya lebih besar dari suaminya, suami tetap harus memberi kepada istrinya.

Kembali kepada kasus yang pacaran, saya menjadi sangat kasihan dengan laki-laki, terutama laki-laki anak SMU yang berminat pacaran tetapi ternyata tidak mempunyai banyak uang untuk memberi kepada pacarnya yang jenis kelaminnya perempuan. Padahal seharusnya dalam fase pacaran keduanya harus saling memberi dan menerima, karena keduanya masih sama-sama sekolah dan belum bekerja. Dalam kasus ini laki-laki harus berani bilang ke pacarnya dan sang pacar juga harus mengerti dan tidak bertindak sebaliknya yaitu memoroti uang pacarnya yang kebetulan kaya.

Dalam hubungannya dengan klaim dan dogma, masyarakat kita memang sudah sangat patriarkal. Laki-laki selalu dianggap lebih tinggi dari perempuan, sehingga karena tingginya itu laki-laki dianggap harus selalu mengayomi perempuan. Sehingga seolah-olah jika ada laki-laki yang lemah masyarakat akan mencemooh dia bahkan menganggap dia laki-laki yang tidak berguna. Padahal seharusnya sifat itu tidak mutlak dan bisa dipertukarkan, bahwa ada laki-laki yang tidak pemberani dan tegas, sedangkan tidak menutup kemungkinan ada juga perempuan yang tegas dan berani.

Saran saya secara subjektif, bagi anak-anak muda yang pacaran, karena sama-sama belum bekerja maka untuk kebutuhan berdua seperti: nonton, beli buku, jalan-jalan, makan, dan beli baju hendaknya dipenuhi masing-masing. Dan laki-laki tidak usah merasa bertanggung jawab dan memberi kepada perempuan pacarnya, perempuan juga tidak perlu marah dengan pacarnya yang tidak memberi. Cukuplah cinta, kasih sayang, penghormatan, dan pengertian menjadi sesuatu yang lebih berarti dari sekedar memberi barang-barang.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog