Tuesday, August 18, 2009

REFLEKSI HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN RI

Malam tanggal 17 agustus tahun 2009 saya menanyakan kepada rekan guru perihal seragam yang harus digunakan dalam upacara 17 agustus 2009 yang diadakan oleh perguruan muhammadiyah Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Selain seragam saya juga menanyakan pukul berapa upacara akan dimulai, bukan apa-apa saya takut jika terlambat datang ke sekolahan. Maklum, kadang kita sering tidak komitmen dengan diri kita sendiri.

Keesokan harinya pukul 06.30 saya telah tiba di sekolah tercinta, saya naik ke lantai tiga ruang guru untuk mengganti sendal dengan sepatu. Di atas saya bertemu dengan rekan guru yang semalam saya tanyai, dia tertawa dan bilang: “bu imma maaf ya saya bohong, sebenarnya upacaranya jam 07.00, tapi karena ibu kadang terlambat saya sengaja bilang jam 06.30 biar ibu imma tidak terlambat.” Menanggapi hal itu saya tidak marah dan hanya tersenyum seramah mungkin, karena bagaimanapun saya harus menerima kritikan bahwa saya memang kadang sering terlambat tiba di sekolahan. Lagipula buat apa marah, toh yang bisa menilai diri kita adalah orang lain bukan diri kita sendiri.

Pukul 07.00 kurang saya meluncur ke lapangan tempat dilaksanakannya upacara 17 agustus 2009 dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Tepat pukul 07.00 upacara dimulai dengan khitmad dan penuh emosi semangat perjuangan. Saat dinaikkan bendera merah putih diiringi oleh lagu kebangsaan Indonesia raya, saya menitikkan air mata yang sangat tidak seberapa. Apalagi setelah saya mengingat bahwa selama hidup saya belum pernah memberikan apa-apa untuk negeri Indonesia tercinta.

Secara umum upacara berjalan dengan khitmad dan lancar, hanya ada sedikit kendala kecil yaitu pembaca teks UUD 1945 sedikit lupa teks pada alinea terakhir. Tetapi itu tidak mengurangi kekhusyukan upacara, karena segera setelah lupa petugas tersebut langsung ingat dan kembali meneruskan mengumandangkan UUD 1945 dengan lancar.

Selesai upacara para guru berkumpul di aula gedung bawah masjid untuk mengikuti syukuran perguruan kemudian mengikuti acara peletakan batu pertama pembangunan unit kedua perguruan muhammadiyah. Selesai acara peletakan batu pertama para guru masuk keruangan yang telah disediakan panitia untuk makan nasi tumpeng. Nasi tumpeng tersebut didedikasikan untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke 64 tahun. Perguruan muhammadiyah sangat menghargai dan menghormati makna kemerdekaan, sehingga memotong tumpeng diharapkan bisa menjadi spirit bagi perguruan muhammadiyah untuk terus mendukung negara Indonesia.

Selesai makan saya meluncur menuju ke Jakarta Timur untuk rapat ppna, saat berhenti di perempatan lampu merah bulungan tiba-tiba saya dikagetkan oleh segerombolan siswa dari arah selatan dan dari arah utara. Karena bingung dan kaget saya hanya bisa berdiam diri di tempat dan hanya mampu melihat dari jarak yang sangat dekat, beberapa detik kemudian saya baru sadar bahwa saya tengah menyaksikan tawuran pelajar smu. Saya melihat mereka membawa batu-batu ukuran kepalan tangan dan melemparkannya ke seberang, mereka juga membawa penggaris besi untuk menusuk lawan, pentungan kayu, dan arit-arit tajam yang diayun-ayunkan dengan tujuan membacok lawannya. Saya melihat darah muncrat dari dahi dan juga mengucur dari bahu mereka. Darah dari baju kelihatan hitam karena merembes ke baju dan jaket kebesaran mereka.

Saya panik dan bingung mau melakukan apa, saya mencoba telephone 108 menanyakan nomor polisi yang bisa cepat dihubungi. Setelah dapat nomor 112 saya segera menghubungi polisi, saya mencoba beberapa kali tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Karena bingung saya mencoba menelephone teman dekat saya dan memintanya untuk menghubungi polisi secepat mungkin. Saya berdiam diri bersama motor saya, pedagang asongan berhamburan ingin melihat kejadian tersebut. Pada setiap pedagang yang lewat saya berteriak: “pak/bu tolong saya, tolong carikan polisi untuk menghentikan anak-anak ini, saya guru smu juga pak/bu.” Mereka menjawab: “ibu guru mereka atau bukan? Kalau bukan biarkan saja mereka tawuran, toh mereka sudah biasa, kecuali ibu bisa menghentikannya.” Saya sedih dan kaget mendengar jawaban para pedagang, saya bukan sok mau jadi pahlawan, saya sebagai guru hanya merasa bertanggung jawab atas tawuran tersebut. Saya hanya membayangkan seandainya yang sedang tawuran adalah murid-murid saya sendiri. Saking bingungnya saya berteriak: “anak-anak hentikan, ini hari ulang tahun Indonesia nak, jangan nodai hari ini dengan darah, tolong berhentilah nak, saya mohon.” Saya merasa tenggorokan saya serak tapi tidak ada yang menggubris sama sekali, dan karena sudah tidak bisa melakukan apapun akhirnya saya hanya diam menyaksikan sampai akhirnya mobil polisi datang dengan raungan sirine yang sangat keras.

Polisi menggiring anak-anak menjadi dua, satu ke utara dan satu lagi kearah selatan. Saya terbawa kearah selatan, karena masa selatan lebih banyak dari masa utara. Gerombolan semakin terpojokkan oleh mobil polisi yang terus mendesak. Saya juga ikut terdesak oleh mobil-mobil polisi dan akhirnya berhenti dipinggir jalan. Saya melihat gerombolan anak-anak berkumpul di tempat yang teduh dan terlihat seperti sedang diskusi atau sekedar bercerita tentang kejadian yang baru saja dialaminya. Kejadian yang tanpa sadar telah diciptakan olehnya sendiri. Kejadian yang tanpa disadarinya telah membuat beberapa keburukan yaitu:
1. Adanya korban luka-luka
2. Meresahkan pengguna jalan raya
3. Memacetkan jalan
4. Membahayakan nyawa orang lain
5. Menodai citra pelajar
6. Menodai citra sekolah
7. Menodai penegakan hukum di Indonesia

Sebenarnya saya bermaksud mendatangi anak-anak tersebut dan ingin mengobrol tentang banyak hal yang mungkin bisa saya bantu menyelesaikannya. Tapi otak dan hati saya sudah terlalu lelah dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan menuju Halim Jakarta Timur. Tiba di rumah mbak anis saya langsung bercerita kepada mbak anis perihal peristiwa yang baru saja saya lihat. Saya hanya berbagi simpati dengan mbak anis tentang realitas pelajar saat ini. Saya rapat hingga setelah maghrib, dan setelah rapat selesai saya memutuskan untuk segera pulang.

Dalam perjalanan pulang saat di jalan tendean saya melihat iring-iringan sepeda motor sekitar sepuluh sepeda motor, dengan masing-masing motor terdiri dari dua orang. Saya berada persis di belakang mereka dan berusaha mendengarkan yel-yel yang mereka kumandangkan. Sayup-sayup semakin jelas mereka meneriakkan: “merdeka, merdeka, merdeka, merdeka, merdeka.” Saya semakin terpesona setelah melihat bendera merah putih berkibar di barisan paling depan, diusung tinggi dengan tiang bambu. Saya mencoba mengamati siapa gerangan anak-anak ini? Saya sungguh kagum setelah melihat dengan jelas bahwa mereka menggunakan seragam smu. Saking senangnya saya bergabung dalam barisan motor tersebut sambil meneriakkan: “merdeka, merdeka, merdeka, merdeka, merdeka.” Sakit hati saya akibat tawuran tadi siang telah terobati dengan melihat masih ada generasi muda yang peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Teruslah bersemangat generasi mudaku, biarkan orang tidak percaya dengan kemudaanmu, tetapi yakinlah bahwa saya senantiasa mempercayaimu.

Sampai di ulujami saya kembali tersenyum setelah melihat panggung hiburan yang setelah saya amati dipersiapkan untuk acara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Sampai di wilayah pinggiran rel bintaro, saya kembali tersenyum setelah juga melihat panggung dalam rangka memeriahkan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya saya berfikir bahwa tawuran hanya sebagai kelalaian bersama yang juga harus dicari solusinya secara bersama-sama. Kita tidak bisa menyalahkan para pelaku tawuran, karena bisa jadi mereka juga tengah menyalahkan kita sebagai guru, orang tua, atau teman yang bagi mereka tidak pernah bisa mengerti harap mereka.

Setelah sampai di rumah, saya lebih tercengang ketika hujan turun dengan deras namun damai. Saya sangat menikmati turunnya air hujan tersebut, sambil berfikir dan berbaik sangka pada Allah bahwa hujan adalah penanda dari Allah agar Indonesia bisa lebih damai dan lebih sejuk lagi menjalani kehidupannya.

Saat saya hendak mengakhiri tulisan ini tiba-tiba saya dikagetkan oleh bunyi mercon yang bersaut-sautan. Saya agak risih dan sedikit terganggu oleh bunyinya di tengah malam yang seharusnya orang beristirahat. Saking penasaran saya mencari tahu dan ternyata mercon tersebut dibunyikan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Subhanallah, jika kita sadar dengan otak jernih rasanya kita tidak perlu pesimis dengan rakyat Indonesia. Kita juga tidak perlu berburuk sangka akan kegagalan-kegagalan pemerintah. Kita juga tidak perlu terlalu apatis dengan sistem yang telah mendarah daging. Karena yang terpenting menurut saya adalah bagaimana kita mengoreksi diri kita sendiri, seberapa banyak yang telah kita berikan untuk Indonesia tercinta?

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog