Wednesday, February 02, 2011

Persidangan Anak-Anak.......

Suatu hari saya berniat melihat sidang anak SMA yang terkena kasus membawa sajam saat akan tawuran.

Saya sengaja datang untuk melihat langsung bagaimana proses sidang terhadap anak pelajar/remaja.

Saya berangkat pukul 13.00 dan tiba di Pengadilan sekitar pukul 15.00.

Lumayan lama perjalanan meskipun saya pakai motor, maklum saya belum tahu lokasi Pengadilannya.

Tiba di Pengadilan saya langsung memarkir motor, dan menyalami teman-teman si A yang waktu itu akan disidangkan.

Suasana Pengadilan ramai dengan generasi abu-abu yang nongkrong di depan Pengadilan.

Saya mencoba masuk ke Pengadilan untuk mencari informasi pukul berapa si A akan disidangkan.


Saat saya masuk, saya bertemu dengan pengacara si A:

Pengacara: ibu siapa?

Saya: saya teman si A.

Pengacara: owh, saya pengacara si A.

Saya: salam kenal ya bang?

Pengacara: iya, saya sedang mikirin si A.

Saya: saya juga bang, saya memikirkan si A karena dia masih terlalu muda untuk dijebloskan ke penjara.

Pengacara: saya takut jika keluar dari penjara dia bukannya taubat, tapi malah merasa menjadi jagoan.

Saya: ehm, atau sebaliknya dia akan down dan kehilangan kepercayaan dirinya.

Pengacara: kayaknya lebih besar kemungkinan yang pertama, karena rata-rata anak tawuran yang keluar dari penjara pasti semakin menjadi-jadi, teman-temannya akan salut sama dia dan menganggapnya hebat karena pernah di penjara.

Saya: kalau saya lebih memikirkan psikologis dia, saya takut dia tertekan dengan suasana penjara.

Pengacara: itu pasti, hal lain lagi, sebenarnya tidak perlu sampai di tahan, karena tidak sampai ada korban.

Saya: tapi si A bawa senjata tajam kan bang?

Pengacara: iya, tapi belum sempat digunakan untuk tawuran.

Saya: hem, saya juga sedih melihat nasib si A.

Pengacara: semoga saja si A dapat keringanan, karena dia masih pelajar.

Saya: amien.


Karena keburu kebelet saya meninggalkan pengacara si A sendirian.

Saya mencari toilet di lantai satu tidak ada, akhire saya naik ke lantai dua, tapi karena di lantai dua tidak ada juga akhirnya saya naik ke lantai tiga.

Sampai di lantai tiga ternyata toiletnya agak kotor dan pintunya tidak ada kuncinya.

Karena kebelet, saya memaksakan diri untuk tetap pipis meskipun pintu tidak terkunci.


Setelah pipis, saya langsung mencari informasi tentang sidang si A.

Ternyata sidangnya belum dimulai.

Dan karena belum dimulai saya kumpul bareng keluarga si A dan beberapa teman si A yang dibolehkan masuk.

Tidak semua teman-temannya boleh masuk, karena teman-teman si A terlalu banyak.

Saya berbincang-bincang dengan ibu dan kakak si A.

Mereka terlihat ikhlas dan menganggap apa yang menimpa si A hanya apes saja.

Mereka tidak menyalahkan si A, karena bagaimanapun si A masih terlalu muda untuk disalahkan.


Lebih khusus saya ngobrol dengan kakak perempuannya yang kebetulan kuliah di salah satu Universitas Negeri di Jakarta.

Saya: semester berapa mbak?

Mbak: semester empat.

Saya: alhamdulillah ya bisa kuliah?

Mbak: kakak kuliah di kampus saya juga ya?

Saya: iya, saya ambil pascanya.

Mbak: owh, makasih ya sudah mau jadi teman adik saya?

Saya: iya gakpapa kok, si A pernah maen ke rumah dan nginep.

Mbak: iya, dia pernah cerita kok kalau dia pernah ke Bintaro.

Saya: :), iya mbak.

Mbak: dia sama saya tertutup kak, jarang cerita tentang sekolahnya dan teman-temannya.

Saya: oya, kok bisa gitu ya mbak?

Mbak: saya juga tidak tahu kak, saya kadang masuk kamar dia pengen bisa nonton TV bareng dia, eh malah di usir.

Saya: hehehehe.

Mbak: saya juga kadang pengen tidur bareng dia, tapi dianya tidak pernah mau, saya bisa tidur sama dia kalau dia sudah tidur.

Saya: mungkin malu mbak, kan dia sudah gede.

Mbak: iya juga sih, nanti setelah ini si A mau kita pindahin ke sekolah yang deket ama rumah saja.

Saya: yaudah bagus mbak, biar bisa dikontrol sama mbak dan bapak/ibu.

Mbak: iya kak, makasih ya?

Saya: sama-sama mbak.

Beberapa menit kemudia sidang dimulai, sayangnya saya tidak diijinkan masuk ruang sidang.

Yang diijinkan masuk hanya bapak dan ibunya serta pengacaranya.

Karena tidak diijinkan masuk, saya menunggu di luar ruang sidang.

Saya baru ngeh, ternyata sidang buat anak-anak itu sifatnya tertutup.


Sidang telah usai, dan saya langsung menemui si A.

Saya menyapanya dan memberikan senyum termanis saya.

Sekedar untuk menghibur dan memberinya motivasi.

Sidang keputusan akan dibacakan seminggu kemudian, jadi si A harus kembali ke penjara di Jakarta Timur.

Saya melihat raut kelelahan dan keputusasaan di wajah si A.

Semoga si A tidak patah arang untuk menjalani kehidupan yang berikutnya.

Semoga sidang keputusan minggu depan hasilnya memuaskan.

Semoga si A bisa bebas setelah potong tahanan hampir dua bulan.



Ehm, ada banyak hal yang bisa kita petik dari cerita di atas:

1. Orang tua itu sangat mencintai anaknya, meskipun anaknya sering membuatnya kesal.

2. Orang tua rela melakukan apapun buat kebahagiaan anaknya.

3. Usia remaja harus punya prinsip hidup sebagai pegangan.

4. Kenakalan remaja tidak hanya salah remaja tetapi banyak faktor yang menyelubunginya.

5. Hukuman buat anak remaja seharusnya tidak perlu pakai tahanan.

6. Biaya untuk proses persidangan ternyata tidak murah.

7. Orang tua, guru, masyarakat harus lebih peduli lagi dengan anak-anak muda yang masih labil.

8. Selalu belajar dari pengalaman.

9. Dalam kondisi terpuruk, teman bisa member support.

10. Hari ini harus lebih baik dari kemaren, hari esok harus lebih baik dari hari ini.


Generasi Abu-Abu seharusnya ikut serta dalam membangun bangsa.

Karena gerakan penekan kebijakan pemerintah adalah Pelajar dan Mahasiswa.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog