Terlalu
menyakitkan jika orang yang kita sayang meninggal dengan cara yang tragis
seperti kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, atau meninggal dalam tawuran/ribut
antar kampung. Tetapi inilah yang belakangan terakhir terjadi di Ibu Kota
Jakarta, dalam waktu berdekatan dua pelajar tewas dalam tawuran pelajar. Dedy
pelajar dari SMK Bhaskara Depok dan Alawi pelajar dari SMA N 6 Jakarta Selatan,
menjadi korban dalam tawuran pelajar. Nyawa keduanya tidak sempat
terselamatkan, dua pelajar tersebut tewas di tempat kejadian perkara sebelum
sempat di bawa ke Rumah Sakit oleh teman-temannya.
Kita
sebagai orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan kedua pelajar tersebut
sangat miris dan bersedih hati mendengar berita itu, coba bayangkan bagaimana
perasaan dan keadaan kejiwaan keluarga kedua korban setelah tau bahwa anaknya
tewas secara mengenaskan dalam tawuran pelajar? Anak kecilpun pasti tahu
jawabannya bahwa keluarga kedua korban tersebut pastinya sangat sedih, marah,
kesal, gondok, tidak terima, belum percaya seolah seperti mimpi, dan pasti
terbersit dendam dihatinya meskipun hanya sedikit. Bagaimana tidak, anak yang
telah diurusnya dari bayi hingga tumbuh menjadi laki-laki remaja tewas secara
mengenaskan dan tidak disangka-sangka. Orang tua mana yang rela anaknya tewas
dengan cara demikian?
Tidak
hanya orang tua yang sesungguhnya merasa sedih dan kehilangan, saudara-saudara
terdekatnya, sahabat-sahabatnya, guru-gurunya, tetangganya, dan orang lainpun
pasti ikut prihatin atas meninggalnya kedua pelajar tersebut, apalagi jelas
keduanya meninggal dalam keadaan yang tidak wajar. Jika sudah demikian, ibarat
nasi sudah berubah menjadi bubur sama artinya bahwa keduanya tidak mungkin lagi
dihidupkan. Kira-kira, apakah yang dipikirkan oleh para pelaku pembunuhan yang
statusnya juga sama yaitu sebagai pelajar? Ikut sedihkah, ikut menangiskah,
ikut prihatinkah, atau menyesal atas apa yang sudah dilakukannya? Memang benar
istilah yang mengatakan bahwa penyesalan selalu datang belakangan/terlambat.
Tetapi untuk kategori kasus ini mustinya prinsip yang dibangun adalah mending
terlambat dari pada tidak sama sekali.
Ada
yang menghujat, ada yang bertanya-tanya mengapa, ada juga yang mengklaim, ada
yang sekedar prihatin, ada yang menyalahkan guru-guru, ada yang menyalahkan
polisi, ada yang menyalahkan orang tua, ada yang menyalahkan lingkungan, ada
yang menyalahkan teman sebaya, ada yang menyalahkan seniornya, dan ada juga
yang menyalahkan semua pihak atas maraknya tawuran pelajar di Ibu Kota Jakarta
yang kerap kali menimbulkan korban luka-luka ringan, luka-luka parah, dan
korban tewas. Tidak hanya peserta tawuran yang bisa menjadi korban, pengguna
jalan, kendaraan yang lalu lalang, dan bangunan-bangunan disekitar lokasi
tawuran juga kerap menjadi korban dari aksi tawuran. Jika sudah demikian,
sesungguhnya siapakah yang musti disalahkan dan siapakah pula yang harus
bertanggung jawab?
Tidak
patut menyalahkan pelaku secara ekstrim, karena bagaimanapun mereka adalah
anak-anak remaja yang masih labil dan butuh pendampingan ekstra dari
orang-orang terdekatnya. Meskipun secara nilai substansial, tidak ada yang
membenarkan tentang apa yang mereka lakukan, karena yang mereka lakukan adalah
perbuatan pidana (menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja). Jika kita
telaah lebih dalam, mustinya tidak hanya menyalahkan satu pihak saja dalam kasus
tawuran pelajar, melainkan semua pihak harus ikut bertanggung jawab secara
dewasa. Pihak-pihak tersebut yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, teman sebaya,
aparat penegak hukum, dan senior-seniornya yang kerap kali masih ikut campur
dalam proses terjadinya tawuran pelajar.
Tawuran
pelajar adalah aktivitas turun temurun dari jaman dahulu hingga sekarang,
sehingga untuk menghapuskan tradisi tawuran pelajar musti mengetahui mata
rantainya. Tidak ada tradisi yang abstrak, tradisi yang dilakukan turun temurun
pastilah ada ujung pangkalnya. Sehingga jika di observasi secara serius dan
teliti, tradisi tawuran pelajar pasti bisa dihapuskan dengan
sebersih-bersihnya. Tentunya musti ada kerjasama yang kompak dari semua pihak,
tidak boleh saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Merasa dirinya paling
benar dan memojokkan pihak lain secara ekstrim tanpa kompromi sama sekali.
Perlu
kita sadari bersama-sama, bahwa para pelaku tawuran adalah anak-anak remaja
usia labil yang masih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, bagi remaja
yang mempunyai prinsip hidup kuat maka dia akan berusaha tetap komitmen di
jalan kebaikan, tetapi bagi remaja yang tidak mempunyai prinsip hidup maka akan
mudah terpengaruh dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama teman-teman
sebayanya. Untuk remaja labil yang tidak mempunyai prinsip hidup jangankan
mengerti tentang sebuah obsesi, karir, masa depan, pengembangan potensi dan
bakat, tentang keberadaan dirinya saja mereka masih suka bingung dan
bertanya-tanya, untuk apa sesungguhnya mereka hidup? Jika yang ikut tawuran
adalah remaja-remaja labil yang tidak mempunyai prinsip hidup, sudah sepatutnya
bagi keluarga dan guru untuk mendampingi remaja-remaja tersebut secara lebih
sabar, lebih teliti, dan lebih advokatif. Supaya para remaja tersebut pada
akhirnya mengerti bahwa hidupnya terlalu sia-sia jika tidak digunakan untuk
berbuat kebaikan kepada orang lain.
Tokoh
agama juga musti ikut bertanggung jawab atas bobroknya moral generasi muda yang
mustinya menjadi penerus dari generasi tua, karena bagaimanapun generasi tua
akan lengser keprabon dan digantikan oleh para generasi muda yang kuat,
komitmen, mempunyai prinsip, tangguh, dan serius dalam mengurusi negara
tercinta Indonesia. Bagaimanapun agama harus bisa memberikan pencerahan kepada
para remaja-remaja tersebut tentang hakikat hidup dan kehidupan, bahwa agama
apapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, bahwa agama manapun tidak ada yang
membolehkan pembunuhan, bahwa agama siapapun pasti menginginkan sebuah
kedamaian dan kenyamanan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kita
mustinya adalah orang pertama yang akan membela anak-anak pelajar yang tawuran
tentu dengan pendampingan ekstra sabar dan berkelanjutan, jika orang-orang dan
masyarakat hanya bisa mengklaim/menyalahkan anak-anak tawuran tanpa pernah
bertanya kenapa mereka tawuran?
0 comments:
Post a Comment