Wednesday, September 28, 2011

Tawuran Pelajar,,,

Kejadian kisruh antara wartawan dan pelajar SMAN 6 Jakarta bermula dari aktivitas wartawan Oktaviardo yang mengambil gambar sekelompok pelajar yang sedang berkumpul. Meski sudah dilarang oleh pelajar, Oktaviardo tetap mengambil gambar mereka. Hal itu membuat para pelajar marah dan mengambil paksa kaset video milik Oktaviardo. Senin (19/9), beberapa wartawan mengadakan aksi solidaritas di depan SMAN 6 Jakarta. Pada waktu itu, Kapolsek Kebayoran Baru Kompol Hando memfasilitasi pertemuan antara wartawan dengan Kepala Sekolah SMAN 6 Jakarta. Sayangnya pasca mediasi, wartawan masih bertahan di depan SMAN 6 Jakarta. Padahal seusai pertemuan antara pihak sekolah dan wartawan yang melakukan aksi damai saat itu, petugas sudah menghimbau kepada wartawan untuk segera meninggalkan area SMAN 6 di kawasan Blok M. Akibatnya pelajar dan wartawan terlibat adu jotos dengan menggunakan tangan kosong sehingga mengakibatkan korban luka ringan dan berat dari keduanya.

Tawuran pelajar adalah aktivitas fisik/berantem antara dua sekolah yang bermusuhan secara turun temurun dan dilakukan dengan kesadaran. Tawuran pelajar biasanya dipicu oleh persoalan-persoalan seperti: dendam di masa lalu yang di langgengkan oleh senior, persoalan perempuan, persoalan ledek-meledek, persoalan coret-mencoret identitas sekolah di tembok, atau persoalan setia kawan karena teman satu sekolahnya ada yang terluka/meninggal oleh sekolah lain.

Faktor-faktor yang menyebabkan pelajar melakukan tawuran diantaranya: kurangnya perhatian dari orang tua, kurangnya perhatian dari guru/wali kelas, pengaruh lingkungan teman sebaya, desakan dari senioritas, keakuan yang tinggi (ingin dianggap sebagai jagoan), dan membela nama baik almamater/sekolah.

Orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengamati perkembangan perilaku anaknya. Atau sering juga karena orang tua terlalu percaya dengan anaknya, sehingga orang tua merasa tidak perlu mengontrol anaknya terlalu ketat. Seharusnya orang tua lebih serius lagi mendampingi anak-anaknya yang tengah menginjak usia remaja, karena sejatinya pelajar pelaku tawuran meskipun dia jagoan sekalipun di sekolahnya, dia tetap taat dan takut kepada kedua orang tuanya.

Guru-guru/wali kelas di sekolah juga seharusnya memantau anak didiknya setelah pulang sekolah, benarkah anak didiknya tersebut langsung pulang sekolah? Atau jangan-jangan anak didiknya tidak langsung pulang dan nongkrong bersama teman-teman sebayanya. Meskipun tidak ada niat untuk melakukan tawuran, ketika pelajar nongkrong dengan teman sebayanya dalam jumlah yang lumayan banyak, dapat dipastikan ada salah satu anak yang iseng dan mengusulkan kepada teman sebayanya agar mencari musuh, dari situlah tawuran bisa dilangsungkan.

Tawuran menurut saya bukan persoalan sepele, tawuran adalah persoalan penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak termasuk pemerintah. Semua pihak harus sadar dan membuka mata lebar-lebar bahwa pelajar yang tawuran adalah generasi muda penerus bangsa yang seharusnya dibina dan disiapkan untuk menggantikan generasi tua. Bagaimana bangsa ini bisa maju, jika kelak para pejabatnya dipimpin oleh generasi yang ketika mudanya gemar melakukan tawuran/kekerasan? Sayangnya tidak banyak pihak yang peduli dengan fenomena tawuran pelajar baik di ibu kota ataupun di daerah-daerah. Tidak banyak yang punya waktu khusus untuk mendampingi/mengadvokasi para pelajar yang gemar melakukan tawuran.

Perlu diketahui oleh masyarakat umum, bahwa anak-anak tawuran tidak hanya melakukan aktivitas tawuran, sebagian dari mereka terlibat dalam aktivitas negatif lainnya seperti: free seks, narkoba/ganja, merokok, minuman keras, dan judi. Semua pasti sepakat secara bulat bahwa aktivitas negatif tersebut bisa mengakibatkan hancur dan rusaknya generasi muda Indonesia. Usia para pelajar yang terlibat tawuran berkisar antara usia anak SMP dan SMA, pada usia tersebut anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan dan pencarian jati diri, sehingga sangat perlu untuk didampingi, agar apa yang dipilihnya bukan sebuah kesalahan tetapi sebuah kebaikan yang akan menjadikannya generasi unggulan dan cerdas.

Saya sepakat dengan sebuah komentar di internet yang mengatakan: “Malu melihat pelajar berakhlak seperti ini. Kalau saja pendidikan etika menjadi yang utama maka pemandangan mengerikan seperti ini tidak akan pernah ada. Orang yang lebih muda seharusnya hormat kepada yang lebih tua, dan yang lebih tua membimbing yang lebih muda, hanya tinggal ajaran di atas kertas. Inilah mungkin akibat pendidikan kita yang tidak berbasis karakter, yang mengejar kemajuan sains dan teknologi belaka. Sudah saatnya bapak guru/ibu guru kembali ke depan tampil untuk menjadi teladan yang baik. Rindu rasanya dunia sekolah seperti zaman dulu, dimana guru selalu ditiru karena memang perlu dan layak untuk ditiru.”

Pendidikan saat ini memang sudah banyak berbeda dengan pendidikan pada zaman dulu, dulu guru adalah sosok yang benar-benar dihormati dan dikagumi oleh murid-muridnya. Bahkan guru benar-benar dijadikan sebagai orang tua kedua setelah orang tua kandung. Murid-murid zaman dulu tidak berani melawan guru dan belajar di kelas dengan serius dan sungguh-sungguh. Berbeda dengan murid-murid pada zaman sekarang yang cenderung sangat dekat dengan gurunya, meskipun kedekatan tersebut sering disalah artikan oleh sang murid. Murid-murid tersebut beranggapan bahwa kedekatan antara dirinya dengan guru berarti keterbukaan tanpa batas etika.

Zaman dulu murid adalah objek pendidikan, sehingga seolah-olah wajar ketika ada guru yang bertindak keras terhadap murid-muridnya. Bahkan zaman dulu, orang tua murid tidak akan marah mendengar anaknya dikerasin oleh gurunya, karena orang tua pada zaman dulu sangat percaya kepada guru. Saat ini murid dan guru sama-sama sebagai subjek pendidikan, itu artinya bahwa guru dan murid sama-sama mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Guru mempunyai hak mengajar dengan caranya, dan murid mempunyai hak untuk memberi saran kepada guru tentang metode mengajar yang lebih menarik dan mudah diserap oleh murid.

Kembali ke persoalan tawuran pelajar, pernahkah orang tua dan guru menanyakan secara serius kepada anak-anaknya yang tawuran, mengapa mereka melakukan tawuran pelajar? Atau yang paling dini, pernahkah orang tua dan guru menyadari bahwa anak-anaknya sebagai pelaku tawuran pelajar? Tawuran pelajar menurut pelaku adalah aktivitas yang menantang dan melatih olah fisik/olah raga, yang jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang susah diberantas kecuali dengan cara-cara yang tepat dan bijak. Apalagi jika ada intervensi dari senior dan teman-teman sebayanya, pelajar yang sejatinya tidak menginginkan untuk tawuran menjadi ikut serta karena alasan tidak enak hati dengan senior dan teman sebayanya. Jangan salahkan mereka yang tiba-tiba taat dan patuh dengan seniornya melebihi kepatuhannya terhadap orang tua dan guru, mereka melakukan itu karena memiliki ikatan yang kuat dengan senior-senior dan teman-teman sebayanya. Disini ada satu kritik yang tajam kepada orang tua dan guru, sudahkan orang tua dan guru menjadi sosok yang keberadaanya dianggap oleh anak-anaknya? Sehingga anak tersebut akan lebih patuh dan taat kepada orang tua dan guru ketimbang kepada senior dan teman sebayanya.

Yang paling menyedihkan dan patut untuk di evaluasi bersama-sama yaitu bahwa tawuran pelajar dapat mengakibatkan: korban luka ringan, korban luka serius, kecacatan, kerusakan fasilitas umum, mengganggu aktivitas jalan raya, menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, dan dapat mengakibatkan nyawa melayang. Tidak sedikit pelajar yang meninggal dunia secara mengenaskan akibat tawuran pelajar, coba bayangkan bagaimana perasaan orang tua/keluarga korban setelah tahu bahwa anaknya meninggal secara mengenaskan akibat tawuran pelajar? Dan perlu diketahui bahwa jatuhnya korban meninggal bukan berarti menghentikan tawuran, justru seringkali memicu dendam membara oleh teman-teman korban meninggal, sehingga tidak jarang muncul statement bahwa nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Terlepas dari semua kekurangan yang ada pada komunitas tawuran pelajar, ada satu kelebihan yang dimiliki oleh anak-anak dalam komunitas tawuran pelajar yaitu persahabatan. Sebagian korban meninggal dalam tawuran pelajar dikarenakan membela teman sebayanya yang sedang dikeroyok oleh lawannya. Dan anak-anak dalam komunitas tawuran pelajar rela berkorban apa saja untuk teman sebayanya. Persahabatan mereka sangat tinggi, persahabatan mereka sudah menjadi komunitas keluarga besar, dan persahabatan mereka tidak terbeli oleh apapun juga. Menurut saya itu adalah nilai yang sangat substansial, nilai yang bisa dijadikan sebagai modal dasar untuk menerapi teman-teman kita yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam tawuran pelajar.

Sebagai pengajar dan sebagai orang yang berteman lama dengan anak-anak komunitas tawuran, saya orang pertama yang paling sakit hati dan tidak terima ketika masyarakat hanya mampu menyalahkan anak-anak tawuran, bahkan tidak jarang yang mengklaim anak-anak tawuran sebagai anak-anak bodoh dan anak-anak yang tidak bermoral. Tanpa mencoba menanyakan atau minimal mengerti mengapa mereka melakukan tawuran? Tanyakan pada hati kita masing-masing, sudahkah kita memberi konstribusi positif untuk menyelesaikan persoalan tawuran pelajar. Masih banyak komunitas lain yang semestinya layak dimintai pertanggungjawaban atas maraknya tawuran pelajar terutama di ibu kota Jakarta seperti: aparat penegak hukum, kurangnya perhatian dari orang tua, kurangnya pemantauan dari guru, dan partisipasi dari masyarakat. Semoga.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog