Wednesday, September 28, 2011

Tanggalkan Ego Subjektif,,,

Beberapa kali saya ikut acara yang diselenggarakan oleh ICRP, acara terakhir yang saya ikuti diadakan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Acara tersebut mengundang tokoh-tokoh lintas agama dan lintas ormas untuk memperbincangkan tentang fenomena keberagamaan di Indonesia yang belakangan ini agak sedikit semrawut. Bentuk kesemrawutan itu seperti adanya konflik warga dengan Ahmadiyah, konflik penganut Islam dan Kristen, konflik tentang perkawinan beda keyakinan, dan konflik-konflik politik yang dibalut cantik dengan atas nama agama. Pasca mengikuti acara tersebut, saya mengirimkan sms kepada ICRP agar dapat mengundang saya pada acara lain yang diadakan oleh ICRP. Walhasil diundanglah saya pada soft launching Posbakum pada hari selasa 26 Juli 2011 bertempat di kantor ICRP. Karena meminta otomatis saya harus berkomitmen untuk menghadiri undangan tersebut.

Undangan pukul 15.00 WIB dan tiga puluh menit sebelum itu saya sudah tiba di kantor ICRP Jakarta Pusat. Karena masih ada waktu tiga puluh menit saya mencoba menjalin percakapan dengan peserta lain yang kebetulan sudah berada lebih dahulu dari saya. Sebut saja namanya si A, dia adalah pengelola yayasan sosial di daerah Jakarta Utara, yayasan sosial tersebut bergerak dibidang sosial untuk memfasilitasi anak-anak usia Sekolah Dasar agar mengembangkan bakat dan potensinya. Si A bercerita panjang kepada saya tentang persoalan yang dihadapinya belakangan terakhir ini. Si A tengah mengupayakan agar rumah sosial tersebut bisa diperbaiki dan diperluas hingga lantai dua, sehingga layak untuk menampung anak-anak yang jumlahnya tidak sedikit.

Alhamdulillah si A berhasil mendapatkan bantuan dana dari sebuah yayasan Kristen, dan bagusnya lagi yayasan Kristen tersebut bermaksud mendanai secara penuh pembangunan rumah sosial tersebut. Karena memang yayasan Kristen tersebut mempunyai dana cadangan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat. Tentu tawaran dari yayasan Kristen tersebut disambul baik oleh si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Si A kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk dapat terlaksanannya program pembangunan rumah sosial yang baru. Konsep sudah matang dipersiapkan tinggal perijinan secara administrasi birokrasi, pada tataran RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan memberi ijin atas pembangunan rumah sosial baru bagi anak-anak yang kurang mampu yang berpotensi mempunyai kemampuan lebih. Tapi sayang perijinan tersebut terkendala pada seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama di lingkungan setempat.

Tokoh agama tersebut tidak memberi ijin dengan alasan Kristenisasi pada rumah sosial tersebut. Tokoh agama tersebut kata si A bahkan sampai menghasut kepada warga lingkungan setempat agar mengikuti jejaknya. Anehnya, setiap diajak berdiskusi/berbincang secara personal oleh si A, tokoh agama tersebut tidak pernah bersedia. Dan parahnya aparat birokrasi tidak berani tanda tangan jika tokoh agama tersebut tidak memberikan ijinnya. Sampai disini persoalan semakin rumit, sementara yayasan Kristen yang memberi bantuan dana berharap banyak agar dana tersebut benar-benar bisa dipergunakan untuk aktivitas sosial. Si A tentu sangat tidak enak hati dengan yayasan kristen pemberi dana, karena tidak mudah bagi si A untuk meyakinkan yayasan tersebut agar mencairkan dananya bagi pembangunan rumah sosial di daerah Jakarta Utara.

Secara pribadi saya tidak membela siapapun, saya percaya dan yakin bahwa masing-masing pihak mempunyai alasan yang kuat atas sikapnya. Tokoh agama tersebut pastinya sangat ketakutan jika ada kristenisasi di lingkungannya. Si A juga tidak salah karena dia telah menjelaskan bahwa yayasan tersebut bukan yayasan agama melainkan yayasan sosial masyarakat yang berprinsip mengagungkan kebenaran nilai substansial bukan agama. Kemungkinan yang bermasalah selama ini menurut saya adalah komunikasi yang kurang efektif diantara keduanya. Sehingga perspektif subjektif mereka berkembang seiring dan sejalan hingga memuncak bagai fenomena gunung es.

Tapi secara idealisme sebenarnya tokoh agama tersebut tidak perlu ketakutan berlebihan dengan istilah Kristenisasi, jika lingkungan setempat masyarakatnya sudah beragama dengan benar pastinya tidak akan terpengaruh dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Karena menurut saya bagi pemeluk agama yang taat dan alim pasti tidak akan mudah terpengaruh dengan agama lain. Agama itu suatu pilihan pribadi dan agama adalah sebuah pedoman hidup yang sangat hakiki. Orang memeluk dan memilih agamanya dengan kesadaran yang tinggu bukan seperti memilih barang dagangan.

Indonesia bukan negara agama melainkan negara yang bersumber pada hukum, meskipun Indonesia bukan negara agama tetapi negara Indonesia mengakui beberapa agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Karena bukan negara agama, hendaknya segala persoalan yang ada di masyarakat diselesaikan bukan dengan aturan agama melainkan dengan aturan hukum. Agama seharusnya menjadi keyakinan subjektif yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan karakter sehari-hari. Orang yang beragama seharusnya: santun, toleran, menolong, memberi maaf, menghargai, dan objektif dalam berfikir. Yang perlu dikembangkan secara bersama-sama adalah kebaikan substansial (kebaikan nilai), karena saya sangat yakin bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan universal.

Dalam kasus di atas, hendaknya tokoh agama tersebut bisa menelaah terlebih dahulu tentang yayasan sosial tersebut. Apa tujuannya, visi dan misinya, siapa donaturnya, siapa pesertanya, dan apa saja aktivitasnya. Selama tidak ada yang bertentangan secara substansi, tidak selayaknya tokoh agama tersebut menghalangi rencana pembangungan rumah baru bagi yayasan sosial tersebut. Apalagi sampai menghasut orang lain untuk mendukung aksinya, padahal belum pernah sekalipun diadakan dialog terbuka antara tokoh agama dengan si A sebagai pengelola yayasan sosial tersebut. Saat ini bukan lagi jaman jadul tetapi sudah merupakan jaman modern dan global. Cara pandang dan cara sikap manusia juga sudah berada pada level canggih secanggih teknologi yang ada. Sehingga sudah tidak pantas lagi menyelesaikan persoala-persoalan dengan cara tertutup/main belakang. Selesaikan persoalan yang ada dengan dialog, diskusi, kepala dingin, kesantunan, dan keterbukaan dengan menanggalkan ego subjektif/ego pribadi.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog