Sunday, April 11, 2010

Hari Itu,,,,

Pagi itu saya sedang menemani murid-murid SMA di tempat saya mengajar untuk ikut ujian olimpiade biologi tahap dua, saya bersyukur karena dua orang dari tiga orang murid saya lolos sampai tahap ujian kedua. Karena ujian akan berlangsung sekitar 120 menit, saya memutuskan menunggu di kantin sambil mengoreksi nilai UAS mahasiswa saya. Setiba di kantin saya langsung memesan lontong sayur dan es milo, karena kebetulan pagi itu saya belum sempat sarapan. Sebenarnya bukan pagi itu saja saya tidak sarapan, hampir tiap hari saya tidak sarapan. Sebenarnya saya tahu bahwa makan pagi itu harus, karena dengan makan pagi kita bisa beraktivitas dengan vit. Tapi mau bagaimana lagi, mau masak sendiri tidak bisa dan kalaupun mau beli warung nasi buka sekitar pukul 07.00, sementara pukul 06.00 saya sudah harus berangkat ke sekolah.

Ketika sedang menikmati lontong sayur ditemani es milo, tiba-tiba ada ibu-ibu menghampiri saya. Awalnya saya welcome karena kantin memang tempat umum. Tiba-tiba si ibu tersebut nyerocos bicara kesana-kemari tentang banyak hal, berikut dialog saya dengan si ibu tersebut:
Ibu: anak saya dua orang lolos ujian tahap dua, mereka satu sekolahan.

Saya: oh, selamat ya bu.

Ibu: terima kasih, tapi alhamdulillah anak-anak saya memang pintar-pintar, tahun lalu saja anak saya ada yang lolos sampai tingkat provinsi.

Saya: duh senangnya, selamat sekali lagi ya bu.

Ibu: kebetulan anak saya juga sekolah di sekolah yang berkualitas, sehingga kemampuan dia menjadi bertambah banyak.

Saya: iya bu.

Ibu: ini kira-kira ada sogok menyogok atau tidak ya? untuk olimpiade kali ini? soale saya dengar siapa yang punya uang bakalan di jamin lolos ke tahap berikutnya.

Saya: wah saya tidak tahu tentang itu bu, maaf ya bu.

Ibu: soalnya tahun lalu ada kejadian seperti itu, masa ada anak pintar dari sekolah bagus tidak lolos karena tidak punya uang untuk bayar.

Saya: setahu saya tidak ada pungutan lho bu di olimpiade ini.

Ibu: tapi Indonesia kan memang seperti itu keadaannya, banyak kebohongan dimana-mana.

Saya: ibu tidak bisa menggenalisir juga bu, seburuk apapun Indonesia saya tetap bangga bu jadi warga negara Indonesia.

Ibu: saya juga bangga, meskipun tidak ada yang dibanggain dari negeri ini.

Saya: oooo, menurut ibu seperti itu, silahkan itu hak ibu.

Telinga saya hampir bercabang mendengarkan ocehan dari ibu tersebut, dia mengklaim Indonesia kesana-kemari. Dia juga tidak henti-hentinya membanggaka anak-anaknya dan sekolah tempat anak-anaknya menimba ilmu. Sebenarnya saya ingin membalas dengan juga membanggakan murid-murid saya yang sedang ujian. Karena bagaimanapun murid-murid saya juga siswa-siswi unggulan yang layak juga untuk dibanggakan. Tapi biarlah, manusia memang memiliki kecenderungan untuk membanggakan kepunyaannya sendiri dari pada membanggakan orang lain.

Lepas dari sekolah tersebut saya langsung meluncur ke Universitas Indonesia Depok untuk kuliah. Saya beberapa kali ke UI tapi belum pernah ke UI dengan menggunakan sepeda motor. Walhasil supaya tidak nyasar, sebelum sampai UI saya berhenti di warung baso untuk bertanya sekaligus mengisi perut terlebih dahulu. Pukul 13.00 saya telah sampai di kampus yang sangat asri dan hijau, damai sekali rasanya melihat banyaknya pepohonan dan luasnya tanah yang menghampar.

Tepat pukul 14.00 kuliah di mulai di lantai 3 gedung pascasarjana FE yang baru, hari itu saya kuliah dengan antusias, karena kebetulan dosennya terlihat sangat cerdas dan santun, baru ketahuan ternyata Prof. Agung berasal dari Bali. Kuliah berlangsung hingga pukul 16.30, pukul 17.00 saya pulang bareng dengan dua teman saya yang kebetulan searah dan sama-sama membawa motor.

Sebenarnya saya ingin lewat jalan besar, tapi dua teman saya mengajak lewan jalur dalam yang langsung tembus Pamulang kemudia Ciputat. Karena tidak enak dan penasaran dengan jalan yang kata dua teman saya lebih dekat, akhirnya saya mengiyakan untuk barend pulang dengan mereka berdua. Ternyata hampir dua jam lebih jarak yang saya tempuh untuk tiba di daerah Bintaro, jarak yang menurut saya dua kali lipat jika saya lewat jalur besar yang langsung tembus Lebak Bulus.

Tidak hanya sekali saya merasa ada perbedaan cara pandang tentang jarak perjalanan, beberapa kali orang Jakarta merasa bahwa jalur tikus itu lebih cepat dari jalur normal jalan raya. Padahal kalau saya amati secara cermat, menurut saya justru jalur-jalur tikus itu jauh lebih panjang dan jauh lebih lama dari pada jalur normal jalan raya. Menurut saya kenapa jalan tikus lebih cepat bukan karena jaraknya yang dekat, tetapi lebih pada karena jalan tersebut tidak macet dan lancar. Sehingga jalan raya yang sesungguhnya dekat menjadi sangat jauh lantaran terkena macet yang sungguh luar biasa padat.

Ternyata kadang kita menyimpulkan sesuatu tidak berdasarkan perhitungan ilmiah, tetapi lebih pada kebiasaan dan perasaan.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Welcome to my blog, this blog after upgrade theme.

Text

Berjuang Untuk 'Nilai' Copyright © 2009 imma is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template @rtNyaDesign Design My Blog